1. Pendahuluan
Istilah "netral" dan
"kemanusiaan" seringkali muncul dalam kosakata hubungan
internasional, maka hal ini menunjukkan kepercayaan yang ada sebagai ciri khas
netralitas dan segala sesuatu yang berlaku dalam istilah
"kemanusiaan".
Namun sebaliknya, baik netralitas maupun
aksi kemanusiaan itu tidak kebal terhadap kritikan.
Organisasi non-pemerintah asal Perancis,
seperti Médecins sans frontières (MSF), kadang-kadang melihat ketidakcocokan
antara netralitas dan keadilan. Ahli lain menganggap netralitas dari sudut
pandang efisiensi dalam kaitannya dengan tujuan seperti yang ditugaskan kepada
pasukan PBB. Dalam konteks masalah kemanusiaan, justru kemanusiaan dan semua
hal tentang kemanusiaan itu sendiri yang dipertanyakan.
Untuk perannya ini, Komite Internasional
Palang Merah (ICRC) tentu tidak meningkatkan prinsip-prinsip kerjanya pada
status nilai-nilai absolut. Karena ini pertama kalinya diakui bahwa aksi
kemanusiaan tidak dapat menghentikan konflik bersenjata dan dengan begitu
menjadi terbatas dalam tujuan-tujuannya4.
Sementara ICRC menganggap bahwa mengadakan
aksi kemanusiaan itu berlawanan dengan aksi politik, ICRC mengakui manfaat dari
keduanya dan oleh karena itu tidak dipersoalkan penolakannya terhadap aksi politik
demi aksi kemanusiaan.
Oleh karena itu kita dapat menegaskan
bahwa segala sesuatu yang tidak netral tidak dengan sendirinya adalah buruk,
tetapi mungkin memiliki kualitas lain berdasarkan kriteria validitas yang
berbeda.
Dengan demikian kita mengandaikan bahwa
netralitas ada, dan karena itu merasa berkewajiban untuk mendefinisikannya
dengan objektivitas maksimal.
ICRC melihat tiga aspek netralitas.
Pertama, hal tersebut ialah atribut yang batas-batasnya harus ditandai karena
lembaga tersebut digambarkan sebagai sebuah badan yang netral. Kedua, ini
adalah salah satu dari Prinsip-prinsip Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional. Kami akan menyinggung isi prinsip ini dan
mempertimbangkan bagaimana hal ini berkaitan dengan netralitas ICRC sendiri.
Terakhir, netralitas sering disebut dalam kaitannya dengan bantuan kemanusiaan
selama beberapa tahun terakhir ini, maka kami akan memeriksa berbagai elemen
perdebatan sebelum mencoba untuk merumuskan definisi bantuan kemanusiaan yang
netral.
2. Netralitas ICRC
A.
ICRC sebagai badan yang netral
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
I tahun 1977 menggambarkan ICRC sebagai badan kemanusiaan atau organisasi yang
tidak memihak, ketentuan yang relevan umumnya menggunakan istilah "badan
kemanusiaan tidak memihak, seperti Komite Internasional Palang Merah". Statuta
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional sendiri merujuk ICRC
sebagai "lembaga netral" dan sebagai penengah dan lembaga "yang
sangat netral dan mandiri (independen)".
Maka, ICRC digambarkan sebagai sebuah
badan (organisasi) kemanusiaan netral, tidak memihak, dan mandiri dalam
teks-teks yang diadopsi oleh Negara-negara, seperti misalnya instrumen hukum
humaniter internasional, dan seperti halnya pada Statuta Gerakan, yang telah
diadopsi oleh Negara dan oleh komponen-komponen Gerakan itu sendiri
(Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, Federasi
Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dan ICRC).
Dalam pandangan sekilas, akan nampak bahwa
ciri-ciri tersebut saling berhubungan. Dalam hal netralitas pada khususnya,
bahwa sifat ICRC ini dalam pandangan kami dapat dipahami hanya atas dasar status
pertamanya yaitu netralitas berdasarkan hukum internasional, seperti dalam
pengertian pada suatu Negara yang netral.
Ketika netralitas mulai mendapatkan nilai
tukar dalam teks-teks internasional pada akhir abad kesembilan belas, ini
berarti status hukum suatu Negara yang telah memutuskan untuk tidak terlibat
dalam perang antara dua Negara atau lebih.7 Oleh karena itu, netralitas
dipahami sebagai status yang terdiri dari semua hak dan kewajiban yang
diperoleh atau kewajiban suatu Negara netral. Perubahan yang sejak
terjadi dalam tatanan internasional
memiliki efek membuat status Negara netral yang istimewa dan sangat sulit untuk
dipahami.
Pertama, larangan menggunakan kekuatan,
diperkenalkan setelah Perang Dunia Pertama, selain prinsip netralitas,
menambahkan sebuah dasar kewajiban untuk tidak berpartisipasi dalam permusuhan.
Pengenalan berikutnya dari sistem keamanan
kolektif di bawah Piagam PBB mengangkat pertanyaan tentang sistem yang
mendamaikan dengan hak dan kewajiban tersirat oleh status netral. Pada saat
yang sama hal ini menyebabkan munculnya banyak posisi penengah de facto antara
netralitas dan agresivitas, posisi di mana hukum internasional tidak
menyertakan adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban khusus.
Maka netralitas, jika tidak sudah
demikian, menjadi sikap opsional yang diadopsi oleh Negara-negara pihak ketiga
sesuai dengan keadaan dan terlepas dari definisi formal konflik. Terakhir,
Perang Dingin, konfrontasi ideologi dan semua bentuk antagonisme non-agresif
antar negara membuat konsepsi dimana
netralitas, terutama netralitas permanen,
memerlukan kewajiban yang melekat di masa damai, adanya gagasan yang
memungkinkan Negara netral menghindari dirinya terseret ke dalam konflik antara
negara negara lain.
Pertimbangan tersebut di atas menunjukkan
bahwa netralitas tidak hanya berarti ketidak-ikut sertaan dalam permusuhan,
karena jika itu terjadi maka akan tidak perlulah membedakan antara
Negara-negara netral dan non-agresif. Memang, ketidakikut-sertaan dalam
permusuhan adalah ciri dari kedua posisi tersebut. Perbedaannya terletak pada
alasan non-partisipasi: Negara yang netral tidak memainkan peran di dalam
permusuhan berdasarkan statusnya, sedangkan Negara non-agresif disebabkan oleh keputusannya.
Dalam kebanyakan kasus pilihan ini sesuai dengan kewajiban untuk tidak
menggunakan kekuatan dalam hubungan internasionalnya.
Dengan kata lain, sementara netralitas
menyiratkan non-partisipasi dalam permusuhan, maka hal sebaliknya belum tentu
benar. Karena itu posisi Negara netral ditandai dengan kewajiban lain selain sikapnya
yang non-partisipan dalam permusuhan.
Profesor Torrelli merangkum
kewajiban-kewajiban tersebut dengan menjelaskan netralitas sebagai posisi dari
suatu Negara yang berniat, pada setiap kesempatan dan kejadian, untuk menjauh
dari konflik, hal mana didasarkan pada dua prinsip penting dari status abstain
dan ketidakberpihakan. Menurut Profesor Schindler, kewajiban Negara netral
dapat dipecah menjadi tiga tugas yakni sikap abstain, pencegahan dan
ketidakberpihakan.
Untuk sebuah Negara yang netral, status
abstain mensyaratkan kewajiban untuk tidak memberikan bantuan militer kepada
pihak yang berperang. Tugas pencegahan mewajibkan negara netral untuk mencegah
pihak yang berperang menggunakan wilayahnya untuk tujuan peperangan atau
melakukan tindakannya di wilayah dengan hukum yang bertentangan dengan
netralitas. Terakhir, ketidakberpihakan mewajibkan Negara netral untuk
memperlakukan kedua belah pihak aturan-aturan yang sama yang dalam hal hubungannya
dengan pihak-pihak yang berperang.
Jadi status netral mensyaratkan kewajiban
"untuk tidak melakukan" (atau "tidak memungkinkan untuk melakukan").
Dalam pelaksanaannya ("melakukan"), ini harus dilakukan sedemikian
rupa untuk menghormati status ketidak-berpihakan. Karena hal demikian tentu
tidak ada dalam kasus negara-negara yang tidak berada dalam situas peperangan,
maka hal ini bisa dianggap sebagai karakteristik kebanyakan dari negara
penganut prinsip netralitas.
Kembali ke esensi netralitas dan
memungkinkan lingkup yang meliputi implikasi yang mungkin di masa damai,
netralitas sehingga dapat dipahami sebagai suatu kewajiban untuk menjauhkan
diri dari setiap tindakan yang, dalam situasi konflik, bisa ditafsirkan sebagai
memajukan kepentingan satu pihak konflik atau membahayakan orang-orang yang
lain.
Dalam menjelaskan ICRC berikutnya sebagai
badan yang tidak memihak dan lembaga yang netral, negara-negara telah
melengkapi ICRC dengan bagian-bagian komponen dari status negara netral..
Mungkin ada beberapa alasan untuk hal ini.
Status apapun dari Negara tersebut adalah terbatas dan sekaligus menguntungkan.
Tentunya Negara-negara memiliki kepentingan dalam memastikan bahwa sebuah badan
yang beroperasi di Negara-negara yang dalam situasi peperangan menghormati
prinsip netralitas, dan Negara-negara tersebut tidak akan pernah memberikan
ICRC kewenangan yang akan bisa dinikmati tanpa jaminan-jaminan keamanan politik
dan militer masing-masing. Selain itu, dengan memperhatikan prinsip-prinsip
non-partisipasi dan ketidakberpihakan sejak awal, dengan kehendak bebas dan
setiap saat, ICRC telah memenangkan kepercayaan dari negara-negara dan telah
diberikan mandate berdasarkan aturan internasional tugas-tugas yang awalnya
didasarkan pada dasar hukum yang kurang solid.
ICRC dapat disebut sebagai badan yang
netral karena berada dalam posisi unik yaitu sebagai badan non-pemerintah dan
memiliki personalitas hukum berdasarkan hukum internasional. Fakta bahwa secara
fisik ICRC terdiri dari orang-orang dan bukan dari negara-negara menjamin bahwa
keputusan keputusannya tidak timbul dari keinginan untuk menguntungkan atau
merugikan salah satu dari pihakpihak yang bertikai dengan siapa ICRC harus
berurusan. Komposisi kewarganegaraan tunggal keanggotaan Komite, menurut Pasal
5, ayat 1 dari Statuta Gerakan, merekrut anggotanya melalui kooptasi dari
kalangan warga negara Swiss, dipandang oleh negara-negara anggota memperkuat
jaminan netralitas
ICRC. Namun demikian, harus ditekankan
bahwa sebuah pembedaan yang saksama harus diperjelas antara netralitas ICRC dan
netralitas Swiss yang mungkin membantu terbentuknya ICRC.
Di sisi lain, diragukan apakah sebuah
badan dapat diberikan kemampuan permanen untuk bertindak sebagai penengah
netral kecuali kurangnya subordinasi terhadap subyek hukum internasional yang
sudah ada (didirikan). Apabila badan ini memiliki status sebagai sebuah entitas
dan bukan sebagai sebuah negara, maka badan ini menerapkan status netral, yang
bisa dianggap sebagai personalitas internasional.
Dalam hal apapun, fakta bahwa ICRC
ditugaskan untuk bertindak sebagai pengganti Kekuasaan yang melindungi
membuktikan kapasitasnya untuk memiliki hak dan kewajiban di bawah hukum
internasional, kini personalitas internasionalnya diakui secara umum.
Netralitas sebuah badan selain daripada
sebuah Negara mensyaratkan kewajiban non-partisipasi, sejauh kewajiban ini
relevan dengan badan seperti itu, yang tidak berbeda dengan sebuah negara
netral.
Dalam hal ini bisa dicatat bahwa fakta
tidak mengambil bagian dalam permusuhan berlaku bagi organisasi internasional
dan non-pemerintah. Di satu pihak, setidaknya satu organisasi antar pemerintah,
yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa, berhak menggunakan kekuatan bersenjata
berdasarkan Bab VII dari Piagamnya. Di pihak lain, kekuatan bersenjata lainnya
dapat digunakan di luar monopoli negara-negara anggota. Contohnya, sungguh
penting bahwa Statuta Gerakan mengatur komponen organisasi kewajiban untuk
tidak "memihak dalam permusuhan". Demikian pula, organisasi tersebut
juga harus mempertimbangkan persoalan perlindungan bersenjata (atau pengawalan
militer) untuk pengiriman bantuan dalam kaitannya dengan, antara lain, prinsip
netralitas.
Kewajiban ketidakberpihakan ICRC dapat
ikut berperan hanya dalam lingkup kegiatan khususnya sendiri, yaitu membantu
para korban konflik bersenjata dan gangguan internal. Hal ini berarti bahwa
ICRC akan mengadopsi sikap yang sama kepada semua pihak dalam konflik dan akan
dipandu hanya oleh kepentingan terbaik dari individu-individu yang dicakup oleh
bidang kegiatan tersebut. Maka, ICRC merupakan badan netral dan kemanusiaan
atau, menurut kata-kata dari Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan I, sebuah
badan kemanusiaan yang imparsial (atau organisasi).
Marilah sekarang kita membahas hubungan
antara sifat-sifat yang menjadi ciri khas "netralitas" dan "kemandirian".
Kami telah mengidentifikasi dalam arti
teknis sebagai kualitas yang berkaitan dengan personalitas internasional. Dalam
arti biasa, setiap badan yang tidak menjadi bawahan yang lain harus dianggap sebagai
badan independen. Dari perspektif tersebut, organisasi non-pemerintah harus,
seperti organisasi
antar pemerintah, mandiri sejauh yang
mereka nikmati kepribadian hukum yang timbul dari hukum nasional atau
internasional. Terakhir, instrumen hukum yang mengatur komponen Gerakan Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional menunjukkan penerimaan ketiga dari
istilah "kemandirian", yaitu bahwa dari prinsip menghubungkan
komponen-komponen dan memiliki ruang lingkup sendiri.
Prinsip kemandirian dijabarkan dalam bagian
Mukadimah Statuta Gerakan: "Gerakan ini bersifat mandiri. Perhimpunan
Nasional, sementara sebagai badan bantuan dalam pelayanan kemanusiaan dari pemerintahnya
masing-masing dan tunduk kepada hukum yang berlaku masing-masing, harus tetap menjaga
sifat otonomi mereka agar mereka dapat sewaktu-waktu bertindak sesuai dengan
Prinsip-prinsip Gerakan".
Kata kuncinya di sini adalah
"otonomi", sebagaimana yang ditulis oleh Jean Pictet: "Di bawah
hukuman atas menjadi sesuatu yang lain dari yang seharusnya, Palang Merah harus
berdaulat dalam keputusankeputusannya, tindakan dan kata-katanya harus bebas
untuk menunjukkan jalan menuju pada kemanusiaan dan keadilan. Setiap kekuatan
apapaun yang membuatnya menyimpang dari garis ditetapkan demi tujuan-tujuannya
sendiri akan tidak bisa diterima".25 Dari sudut pandang ini, maka kemandirian
muncul untuk membedakan ICRC dari organisasi antar pemerintah dan
non-pemerintah lainnya. Sejak sifat otonomi ICRC (yang bukan merupakan tambahan
dari otoritas publik dan menikmati personalitas internasional) harus diakui
sebagai badan yang lebih besar dari Perhimpunan Nasional, maka dapat dikatakan
bahwa kemandiriannya ditentukan oleh komposisinya yang bersifat non-pemerintah
dan statusnya sebagai badan yang netral.
B.
Netralitas sebagai sebuah prinsip Gerakan Palang Merah dan
Bulan Sabit Merah Internasional
Menurut Mukadimah Statutanya, Gerakan "dipandu"
oleh tujuh Prinsip-prinsip Dasar, yaitu, kemanusiaan, ketidakberpihakan,
netralitas, kemandirian, kesatuan layanan, sukarela dan kesemestaan. Pasal 3,
ayat 1 menyatakan bahwa Perhimpunan Nasional melakukan kegiatan kemanusiaan
mereka "sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar". Dalam perannya itu ICRC
harus "menjaga dan menyebarluaskan" Prinsip-prinsip Dasar (Pasal 5,
ayat 2a). Terakhir, Federasi diperlukan untuk menjalankan fungsinya antara lain
dalam "konteks Prinsip-prinsip Dasar" (Pasal 6, ayat 4).
Prinsip Gerakan yang kedua adalah
ketidakberpihakan dan didefinisikan sebagai berikut: "[Gerakan] tidak
melakukan diskriminasi berdasarkan kebangsaan, ras, keyakinan agama, kelas atau
pandangan politik. Gerakan berusaha untuk meringankan penderitaan individu,
dipandu semata-mata oleh kebutuhan mereka, dan memberikan prioritas pada kasus
penderitaan yang paling mendesak".
Prinsip netralitas dirumuskan sebagai
berikut: "agar tetap dipercaya oleh semua pihak, Gerakan tidak akan
berpihak dalam konflik yang terjadi dan tidak akan terlibat dalam pertentangan
politik, ras, keagamaan, ataupun ideologis".
Karenanya kedua prinsip itu mewajibkan
sikap non-partisipasi dan tidak berpihak yang sejak awal menandai sikap
netralitas. Selain itu, persyaratan atas sikap non-partisipasi melampaui
konteks permusuhan yang meluas pada "ketidakterlibatan Gerakan dalam
kontroversi yang bersifat politik, ras, agama atau ideologi", sesuai
dengan konsepsi netralitas Negara sebagaimana dikembangkan terutama sejak
Perang Dunia Kedua. Dalam hal Negara-negara anggota, pembatasan ini
mendefinisikan netralitas di masa damai yang dimaksudkan untuk menjaga
netralitas perang. Statuta ini menunjukkan bahwa yang terutama adalah
menghindari hal yang merusak kepercayaan entitas Gerakan yang pada satu saat mungkin
terlibat dalam konfrontasi bersenjata. Maka seperti yang dilakukan oleh Jean
Pictet, kita dapat membedakan antara netralitas ideologi dan netralitas
militer.
Seorang penulis mengatakan: "(...)
prinsip ketidakberpihakan meletakkan dua aturan perilaku yang jelas:
a)
tidak boleh ada diskriminasi dalam menyalurkan bantuan yang
diberikan oleh Gerakan (baik di masa damai atau dalam waktu konflik atau
situasi kacau) dan
b)
bantuan harus proporsional sesuai kebutuhan, semakin besar
kebutuhan semakin besar bantuan". Seperti digambarkan dalam Statuta Gerakan,
ketidakberpihakan berarti non-diskriminasi dan proporsional.
Pengawasan yang lebih ketat mengungkapkan
bahwa persyaratan berasal dari netralitas seperti yang diterapkan untuk
hubungan antar-Negara ketimbang ditutupi oleh netralitas itu sendiri. Karena
Gerakan terlibat dalam aksi kemanusiaan berdasarkan prinsip pertamanya, yaitu
kemanusiaan, kriteria tertentu harus diatur untuk memastikan bahwa tindakannya
terjadi dalam kerangka yang mampu menjamin netralitas, terutama dalam operasi
bantuan. Non-diskriminasi berlaku terutama untuk hubungan dengan individu
dibandingkan dengan masyarakat, meskipun perbedaan terlarang dapat menyebabkan
hal yang menguntungkan satu komunitas dengan mengorbankan musuhnya.
Proporsionalitas mengacu pada satusatunya kriteria yang harus dipertimbangkan
saat memutuskan operasi bantuan. Maka, non-diskriminasi dan proporsionalitas
merupakan kutub negatif dan positif sebuah operasi kemanusiaan netral.
Sebaliknya, ketidakberpihakan harus
dijalankan dalam situasi di mana masyarakat berada dalam keadaan konflik mengindikasikan,
seperti netralitas Negara, bahwa semua harus diperlakukan sama. Maka, bila
non-diskriminasi dan proporsionalitas itu hanya relevan dalam kaitannya dengan
sebuah operasi, khususnya operasi bantuan, maka ketidakberpihakan merupakan
aspek netralitas intrinsik melibatkan keseluruhan proses pengambilan keputusan
sebuah organisasi kemanusiaan.
Aspek netralitas tidak tegas diatur dalam
Statuta Gerakan. Memang benar bahwa itu adalah perhatian utama bagi ICRC karena
nilainya menjadi jelas dasarnya dalam situasi konflik bersenjata. Sesungguhnya penting
bagi ICRC untuk mengambil sikap adil terhadap pihak-pihak yang berperang agar
ICRC tetap dianggap sebagai organisasi netral oleh mereka yang berperang.
Sebagai contoh, bidang kegiatan yang memberlakukan perlakuan yang sama dan adil
mencakup penafsiran hukum humaniter internasional, tawaran jasa dalam hal
peristiwa konflik bersenjata non-internasional dan kecaman terbuka atas pelanggaran
hukum humaniter internasional.
Dalam hal keterkaitannya dengan kecaman
terbuka atas pelanggaran hukum yang mempertanyakan netralitas
organisasi-organisasi non-pemerintah yang berasal dari Perancis. Belajar dari
pengalaman, keberatan mereka timbul berdasarkan dua alasan: netralitas
mewajibkan sikap diam dan, dari sudut pandang keadilan, diam adalah tercela.
Namun, Yves Sandoz menjelaskan bahwa,
"(...) diam belum pernah ditetapkan sebagai sebuah prinsip oleh ICRC.
Pertanyaannya selalu dipandang dari sudut efisiensi dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan oleh prinsip kemanusiaan". Sebuah bukti sederhana tentang hal
ini adalah bahwa ICRC tidak selalu diam dalam hal kecaman terbuka tentang
adanya pelanggaran hukum humaniter internasional; hal ini menuai kecaman terbuka
sampai pada kondisi tertentu, terutama persyaratan bahwa setiap publisitas
tersebut demi kepentingan orang atau populasi yang menderita atau berada dalam
ancaman.36 Seperti pertentangan antara keadilan dan netralitas, hal ini belum
ditolak oleh perwakilan ICRC. Jean Pictet menulis: "Untuk sementara
keadilan memberikan kepada setiap orang sesuai dengan hak-haknya, pembagian sumbangan
diberikan secara adil atas dasar penderitaan yang dialami dalam setiap kasus
(...)
Hal ini menolak untuk melakukannya
berdasarkan jasa atau kesalahan individual." Organisasi Médecins Sans
Frontières sedang mempertimbangkan apakah netralitas tidak boleh ditinggalkan, posisi
kedua organisasi yang terkait dengan penafsiran prinsip ini nampaknya mulai
berhasil bekerja bersama-sama .
Maka apapun perbedaannya akan jelas timbul
dalam hubungannya dengan manfaat dari prinsip ini, karena organisasi Perancis
ini nampaknya ingin melestarikan kemungkinan berbicara terbuka pada beberapa kesempatan.
ICRC dalam hal ini selalu menganggap
netralitas bukan sebagai tujuan itu sendiri, tetapi sebagai sarana untuk
melaksanakan mandatnya atas nama korban konflik bersenjata dan gangguan dalam negeri.
Maka, ICRC menghargai penghormatan terhadap tugas yang berbeda yang mewajibkan
netralitas sebagai hal penting untuk mempertahankan status dan fungsinya.
3. Netralitas bantuan kemanusiaan
A.
Unsur-unsur perdebatan
Cukup adil bahwa para ahli di bidang
hubungan internasional telah mulai memfokuskan perhatiannya pada netralitas
dalam kaitannya dengan bantuan kemanusiaan. Minat mereka berhubungan erat
dengan bagian yang menguntungkan di mana semua hal kemanusiaan dianggap dan, lebih
dari itu, untuk pengembangan koordinasi tindakan kemanusiaan dalam sistem PBB.
Pemikiran mereka kadang-kadang menyimpang melampaui batas-batas ketentuan
sebenarnya bantuan untuk menutupi segala sesuatu yang dimaksudkan untuk
melindungi individu dari ancaman terhadap hidupnya, integritas fisik dan
martabat.
Dilihat dari sudut itu, netralitas adalah
divestasi makna hukum dan menjadi kriteria untuk membedakan antara berbagai
bentuk tindakan internasional. Bahkan netralitas hukum humaniter internasional
terkadang dibutuhkan; di sini, penerapan hokum humaniter internasional tidak
dapat dianggap sebagai hal yang merugikan posisi militer atau politik para pihak
yang berkonflik karena aturannya telah diadopsi oleh Negara-negara sebagai
kompromi yang bisa diterima di antara kebutuhan militer dan mendesaknya
kebutuhan kemanusiaan. Kasus itu sendiri, sorotan atau pengamatan atas
cabang-cabang hukum internasional ditinjau dari konsep netralitas tampaknya
tidak tepat dan cenderung mengarah pada kesalahpahaman. Ketidakberpihakan, di
sisi lain, adalah prinsip yang relevan untuk penerapan hukum dan, khususnya
untuk bidang administrasi peradilan. Namun, istilah ketidakberpihakan ini
memiliki arti yang sangat tepat dan hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap
netralitas.
Dalam mempertimbangkan netralitas seperti
yang diterapkan untuk bantuan, pembedaan harus dibuat antara kegiatan yang
berkaitan dengan distribusi bantuan, yang ditandai dengan kata
"bantuan", dan bentuk-bentuk tindakan yang dapat dilakukan oleh organisasi
yang beroperasi di bidang bantuan medis dan pangan. Sebagaimana Profesor
Torrelli sampaikan, bahwa dampak kecaman terbuka atas tuduhan pelanggaran
pelaksanaan peraturan yang mungkin terjadi dalam hal operasi pemberian bantuan
harus dipertimbangkan. Perbedaan ini serupa dengan apa yang harus disimpulkan
dari antara netralitas suatu badan dan netralitas seperti yang diberlakukan
dalam bentuk tertentu dari suatu tindakan internasional.
Sikap non-partisipasi dan
ketidakberpihakan sebagaimana diterapkan pada tindakan pasukan PBB baru-baru
ini muncul untuk kritik oleh beberapa penulis. "Bantuan kemanusiaan dapat
berlandaskan pada motif dan prinsip-prinsip universal, namun dalam
pelaksanaannya itu pasti mengambil karakter politik partisan, lama dianggap
tidak pantas bagi penjaga perdamaian (peacekeepers – ed) di bawah bendera PBB
sebagai ancaman terhadap sikap ketidakberpihakan mereka." "Jika
ketidakberpihakan dan netralitas terganggu, operasi kemanusiaan yang sedang
berlangsung harus dipertimbangkan kembali, diperkecil atau dihentikan". Kemudian
lagi, "dalam konflik-konflik internal Negara ketidakberpihakan sering
gagal untuk memulihkan perdamaian dan, dalam beberapa kasus seperti Bosnia,
mungkin telah memperpanjang penderitaan". "Kemudian, apakah
kesimpulan bahwa bersikap netral dan imparsial tidak cukup?"
Secara teori, keberatan yang diajukan
sehubungan dengan perbedaan antara tujuan pasukan PBB dan kepatuhan terhadap
prinsip non-partisipasi dan ketidakberpihakan tidak boleh membahayakan posisi ICRC.
Namun, karena keberatan tidak selalu menarik perbedaan antara aplikasi militer
dan kemanusiaan terhadap konsep netralitas, mereka dapat ditafsirkan sebagai
kritik terselubung atas prinsip tersebut, yang mencakup semua bidang yang
mungkin diterapkan.
Adapun penerapan prinsip netralitas di
antara organisasi non-pemerintah, salah satu organisasi tersebut telah
mengklaim bahwa "devaluasi konsep, simbol dan prosedur ICRC melalui adopsi
hal-hal tersebut oleh organisasi pemberi bantuan yang kurang teliti memiliki
implikasi besar bagi integritas ICRC sendiri". Sementara kita tidak
sepenuhnya memiliki pesimisme organisasi tersebut, apalagi beratnya, kita berpikir
bahwa klarifikasi atas persyaratan yang diperlukan dan dapat terbukti
bermanfaat bagi mereka mempelajari bentuk-bentuk tertentu dari aksi
internasional dalam kaitannya dengan prinsip netralitas.
B.
Pencarian sebuah definisi
Netralitas yang berlaku dalam operasi
bantuan bagi korban konflik bersenjata sungguh ada sebagai sebuah konsep hukum.
Pertama, ketentuan yang relevan dari Protokol Tambahan I dan II menyebutkan dua
keadaan yang terkait erat dengan netralitas, yaitu ketidakberpihakan dan
non-diskriminasi. Misalnya, Pasal 70, ayat 1 Protokol Tambahan I mengacu pada
"tindakan bantuan kemanusiaan yang tidak memihak dan dilakukan tanpa
pembedaan yang merugikan" serupa pada Pasal 18, ayat 2 Protokol Tambahan
II membahas "tindakan bantuan untuk penduduk sipil yang bersifat
kemanusiaan secara khusus dan bersifat tidak memihak dan yang dilakukan tanpa
pembedaan apapun".
Selain itu, resolusi Majelis Umum PBB
tentang penguatan koordinasi bantuan darurat kemanusiaan yang disediakan oleh
PBB pada umumnya mengacu pada prinsip-prinsip kemanusiaan, netralitas dan ketidakberpihakan.
Terutama, prinsip-prinsip panduan yang terlampir pada resolusi 46/182 tanggal
19 Desember 1991 termasuk: "2. Bantuan kemanusiaan harus diberikan sesuai
dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, netralitas dan ketidakberpihakan."
Demikian pula, banyak dokumen yang
dikeluarkan oleh badan-badan yang terkait dengan operasi bantuan darurat
kemanusiaan mengutip netralitas dan/atau ketidakberpihakan sebagai pedoman
kegiatan mereka secara umum. Misalnya, netralitas termasuk dalam
"prinsip-prinsip kemanusiaan dan dilemma selama operasi di wilayah-wilayah
konflik bersenjata" United Nations Development Programme (UNDP) ketidakberpihakan
dan netralitas yang disebutkan dalam "Kriteria Mohonk untuk Bantuan
Kemanusiaan dalam Situasi Darurat yang Kompleks", dan dalam
"Prinsip-Prinsip Panduan tentang Hak atas Bantuan Kemanusiaan" yang
diadopsi oleh Dewan Institut Internasional Hukum Humaniter (Council of the International
Institute of Humanitarian Law) dalam sidangnya pada bulan April 1993. Kadang-kadang
prinsip yang sama bahkan muncul dalam teks-teks yang tidak terkait dengan
situasi konflik bersenjata, yang sekilas mungkin tampak mengejutkan dalam asrti
bahwa hal ini mengandaikan adanya netralitas masyarakat dalam konflik. Terakhir,
para ahli terkemuka seperti C. Dominicé dan M. Torrelli telah mempelajari
netralitas dalam kaitannya dengan bantuan kemanusiaan.
Namun demikian, tidak satupun dari
dokumen-dokument tersebut memberikan sebuah definisi bantuan kemanusiaan yang
netral. Maka, menurut pendapat kami, definisi seperti itu dapat dirumuskan
hanya atas dasar sejumlah unsur yang diambil dari hukum yang sedang berlaku
serta pemikiran tentang permasalah, seperti diuraikan di bawah.
1.
Bantuan netral adalah bantuan yang validitasnya didasarkan pada
hukum humaniter internasional. Pasal 70 Protokol I dan Pasal 18, ayat 2
Protokol II menyebutkan dua persyaratan yang terkait erat dengan netralitas,
yaitu, ketidakberpihakan dan non-diskriminasi. Selain itu, netralitas dipandang
sebagai prinsip hukum kemanusiaan, yang menunjukkan, antara lain, bahwa
"bantuan kemanusiaan tidak pernah campur tangan dalam konflik".
2.
Bantuan netral tidak dianggap sebagai campur tangan dalam konflik
bersenjata atau tindakan tidak bersahabat. Hal ini dapat dilihat secara jelas
dalam Pasal 70 Protokol I. Protokol II menyatakan secara lebih umum bahwa tidak
ada satupun ketentuan yang dapat membenarkan intervensi langsung atau tidak
langsung dalam suatu konflik bersenjata.
3.
Bantuan yang diberlakukan oleh angkatan bersenjata sebagai
bagian dari tindakan
sepihak adalah suatu campur tangan, dan
karena itu tidak memenuhi kriteria netralitas. Dua penulis yang mempelajari hak
intervensi, yakni O. Corten dan P. Klein, mengontraskan operasi kemanusiaan tak
bersenjata dilakukan menyusul penolakan sewenang-wenang oleh sebuah Negara
dengan reaksi bersenjata sepihak yang mereka anggap dilarang oleh hukum
internasional.59 Sebagai contoh dari hal yang pertama, mereka menyebut
penerjunan makanan dan obat-obatan dengan penerjun payung dari oleh pesawat
India ke Jaffna, di wilayah Sri Lanka yang dikuasai Tamil, meskipun mereka
menyimpulkan bahwa operasi tersebut tetap diragukan legalitasnya karena pesawat
sipil yang digunakan dikawal oleh Mirages.
4.
Hanya bantuan yang secara eksklusif bersifat kemanusiaan adalah
netral. Berbeda
dengan Pasal 70 Protokol I, maka Pasal 18,
ayat 2 Protokol II tidak memuat rujukan tentang campur tangan tetapi ketentuan
ini menyatakan bahwa tindakan bantuan haruslah "secara eksklusif bersifat
kemanusiaan (...)".
5.
Bantuan netral hanya terbatas pada tujuan murni dalam praktek
Palang Merah.
Dalam putusannya atas kasus kegiatan
militer dan paramiliter di wilayah Nikaragua dan yang melawan Nikaragua, Mahkamah
Internasional berpandangan bahwa "jika pemberian bantuan kemanusiaan
adalah untuk menghindari kecaman sebagai intervensi dalam urusan internal
[Negara lain], maka hal itu harus tidak hanya dibatasi pada tujuan murni
sebagaimana praktek dari Palang Merah, yaitu untuk mencegah dan meringankan
penderitaan, serta melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, menjamin penghormatan
terhadap manusia, namun juga yang terpenting adalah bahwa bantuan tersebut diberikan tanpa membeda-bedakan bagi semua membutuhkan".
6.
Kenyataan bahwa bantuan diberikan meskipun sebuah Negara atau
Pihak lain yang bertikai dengan sewenang-wenang telah menolak tawaran bantuan
itu tidak melepaskan sifat netral, asalkan hal ini tidak disertai dengan
penggunaan angkatan bersenjata. Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, tawaran
bantuan yang memenuhi kondisi-kondisi dalam Pasal 70 Protokol I dan Pasal 18,
ayat 2 Protokol II tidak menjadi sebuah campur tangan. Jika penolakan
sewenang-wenang tetap terjadi setelah adanya negosiasi yang sia-sia, maka
setiap tindakan yang dilakukan meskipun bahwa penolakan itu setidaknya bisa
dilakukan oleh suatu Negara pihak ketiga, hal ini dianggap sebagai tindakan
penanggulangan yang sah dan karena itu tidak merupakan campur tangan.
7.
Fakta bahwa bantuan yang diberikan oleh satu atau beberapa
komponen lain
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional dilindungi oleh pengawal bersenjata tidak melepaskan sifatnya yang
netral, asalkan pihak (atau otoritas) yang mengontrol wilayah yang dilalui
konvoi harus lolos di wilayah di mana bantuan kemanusiaan yang harus diberikan
telah sepenuhnya menyetujui prinsip prinsip dan prosedur pengawalan bersenjata,
dan bahwa tujuan yang kedua adalah untuk melindungi pasokan bantuan dari
penjahat dan kriminal umum. Demikianlah kesimpulan yang dicapai oleh kelompok
kerja bersama ICRC dan Federasi sesuai dengan Resolusi 5 yang diadopsi oleh
Council of Delegates pada tahun 1993. Kelompok kerja yang sama juga menekankan
bahwa penggunaan pengawalan bersenjata dilakukan hanya dalam kasus luar biasa,
sebagai upaya terakhir dan setelah dengan hati-hati menimbang keuntungan dan
kerugian dari tindakan tersebut.
8.
Agar netral, bantuan tidak boleh diskriminatif. Pasal 70
Protokol I maupun Pasal 18, ayat 2 Protokol II menggunakan istilah "tanpa
pembedaan yang merugikan". Dalam instrumen hukum humaniter, daftar yang
paling komprehensif pembedaan-pembedaan yang merugikan dimuat dalam Pasal 75
Protokol I.
9.
Agar netral, bantuan harus ditujukan untuk meringankan
penderitaan individu, dipandu hanya oleh kebutuhan mereka, dan memberikan
prioritas kepada kasus yang paling mendesak dari marabahaya. Bahwa persyaratan
yang ditetapkan terutama oleh prinsip ketidakberpihakan dari Gerakan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional.
10. Agar netral,
bantuan harus tidak menguntungkan suatu kelompok tertentu atau individu atas
orang lain. Pembedaan lainnya selain yang tercantum dalam daftar pembedaan yang
merugikan dan yang tidak dibenarkan dengan memperhatikan kebutuhan korban
karena tidak memenuhi syarat ketidakberpihakan.
11. Bantuan sepihak
tidak selalu non-netral. Tunduk pada faktor-faktor lain, bantuan yang diberikan
kepada korban yang berasal hanya dari satu pihak yang terlibat konflik tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum humaniter.
Bersama-sama, unsur di atas mungkin tidak
merupakan definisi lengkap dari bantuan kemanusiaan yang netral, yang belum
diperluas dengan cakupan dari pembelajaran praktek terkini.
Masyarakat internasional sebaiknya,
terutama, menetapkan pendiriannya tentang bantuan yang diberikan sehubungan dengan
operasi bersenjata yang dilakukan atau disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pertanyaan yang dipermasalahkan adalah apakah bantuan yang diberikan melalui
sebuah operasi yang tidak selalu memenuhi kriteria abstain tetap dapat dianggap
sebagai netral. Karena hal ini masih dipertimbangkan, tampaknya dapat diterima
bahwa bantuan yang dilindungi oleh pasukan PBB yang menggunakan kekuatan
terhadap satu atau lebih dari pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata
tidak bisa netral. Maka, masih harus ditetapkan apakah bantuan didistribusikan
oleh militer, polisi atau unit sipil yang terlibat dalam operasi koersif, atau
dalam operasi pemeliharaan perdamaian dengan atau tanpa kekuasaan koersif, dapat
dianggap sebagai netral.
Andai kata demikian, unsur tersebut di
atas menunjukkan bahwa netralitas yang diterapkan pada bantuan kemanusiaan
merupakan gagasan otonom yang tidak tergantung pada sifat dari badan yang terlibat
dalam kegiatan yang termasuk dalam pengertian "bantuan kemanusiaan".
Dengan kata lain sebuah negara, bahkan jika tidak netral, sebuah organisasi
antar pemerintah atau organisasi non-pemerintah dapat memberikan bantuan kepada
para korban konflik bersenjata yang memenuhi kriteria hokum humaniter. Hal ini
bahkan bisa dipahami bahwa dalam beberapa konteks kegiatannya mungkin sesuai dengan
kriteria hukum kemanusiaan, sementara di wilayah operasi lainnya mereka tidak
memenuhi criteria yang sama. Di lain pihak, kegiatan bantuan ICRC harus selalu
dianggap sesuai dengan prinsip netralitas sebagaimana yang berlaku dalam
bantuan korban konflik bersenjata, karena ada satu hal menyangkut hubungan
antara netralitas ICRC, baik netralitas sebagaimana prinsip Gerakan Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, maupun netralitas sebagai kualitas
bantuan kemanusiaan.
4. Kesimpulan
Di bidang aksi kemanusiaan, netralitas
adalah ciri khas ICRC, sebuah kewajiban yang mengikat komponen-komponen
Gerakan, dan kualitas bantuan yang diberikan kepada korban konflik bersenjata.
Isi netralitas sedikit bervariasi dalam tiga hal, tergantung pada tujuan
penggunaannya. Namun demikian, intinya masih terkait erat dengan definisi yang
menjelaskan konsep hukum internasional untuk menetapkan status suatu Negara
yang memutuskan untuk berdiri terpisah dari suatu konflik bersenjata. Alhasil, pelaksanaannya
dalam undang-undang positif masih tergantung pada kriteria non-partisipasi dan
ketidakberpihakan yang menjadi sifat
netralitas sejak awalnya.
Saat ini ada kecenderungan sikap
"berpihak pada atau melawan" terhadap netralitas, yang berdasarkan
pada hal yang sudah berlaku umum, bukan pada definisi hukum, dan ini
menyebabkan kesalahpahaman yang mencegah setiap penilaian yang obyektif tentang
maknanya. Lebih lanjut, fakta bahwa netralitas diperlukan sehubungan dengan
berbagai bentuk aksi pemelihara perdamaian bersama, atau tindakan penciptaan
perdamaian bersama yang mengungkapkan banyak ketidakpastian tentang masalah
netralitas ini.
Oleh karena itu, mencapai pemahaman yang
lebih baik tentang netralitas seperti yang diterapkan pada bantuan yang
diberikan kepada korban konflik bersenjata akan berguna; bila tidak demikian
maka hanya bantuan seperti yang diberikan oleh ICRC ini yang bisa dipastikan
sebagai bantuan yang netral.
Bagaimanapun harus diakui bahwa netralitas
sebuah organisasi mempengaruhi seluruh rentang kegiatan yang menyebabkan
organisasi tersebut diperlukan untuk tampil.