Archive for Januari 2014

[COBA] PAHAMI KEJENGKELAN RELAWAN PMI




Kalau kita cermati berbagai komentar Relawan PMI di banyak media sosial dalam dua-tiga tahun terakhir nampak sekali nada kejengkelan yang berkepanjangan. Pertama jelas kepada pengurus di berbagai tingkat organisasi yang berasal dari kalangan birokrasi dan politisi yang tidak pernah mencoba pahami seluruh sisi kehidupan PMI selain urusan bulan dana dan pemanfaatan fasilitas pemerintah. Dan terakhir adalah kepada partai-partai politik yang telah "menghianati" amanat para pekerja kemanusiaan yang dalam menjalankan mandat negara selaku Perhimpunan Nasional maupun gerakan kemanusiaan universal (Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah) yang acapkali berhadapan dengan ancaman maut.

Kejengkelan kepada para politisi sebenarnya telah berlangsung sejak proses pembahasan RUU Lambang yang digagas oleh Pemerintah RI dalam menindak-lanjuti hasil kajian Pusat Studi Hukum Universitas Trisakti Jakarta bekerjasama dengan PMI Pusat. Satu faktor utama dalam kajian ini bermula dari kasus penembakan Elang Mulya Lesmana, seorang mahasiswa universitas tersebut dan Relawan PMI yang tengah bertugas. Sementara itu, dalam konstruksi hukum nasional yang berlaku di Indonesia, bahwa setiap perjanjian internasional yang telah diratifikasi harus segera dikuatkan dengan Undang-Undang. Sayang sekali, proses politik di DPR RI yang berlangsung sekitar 11 tahun sejak 2000 berakhir buntu karena melewati batas waktu masa tugas 2004 – 2009 dan 2009 – 2012 ketika tidak terjadi kesepakatan bulat. Pada proses ini, Relawan PMI sebagai jantung dan ujung tombak PMI masih berusaha menahan diri.

Bahkan, ketika #RUUKepalangmerahan diajukan oleh Badan Lesgislasi DPR RI mengganti RUU Lambang mulai dibahas dan banyak suara nyinyir anggota DPR RI yang berkomentar di media massa yang memberi kesan kepada publik bahwa lambang PMI dikultuskan, Relawan PMI meski semakin jengkel dengan sikap kekanakan itu tetap menahan diri. Begitu pula dengan aksi 3 Desember 2013 yang kurang diminati media massa pandang dengar (TV). Kedatangan 521 Relawan PMI mewakili lebih dari 2.150.000 orang dari seluruh wilayah Indonesia menemui Ketua DPR RI  juga masih dalam suasana menahan diri. Tetap mengedepankan sikap beradab sebagai perwujudan prinsip-prinsip dasar Gerakandan kepatuhan pada hukum positif di Indonesia. Satu-satunya ekspresi kejengkelan dinyatakan dengan menyebut angka 10.000 orang Relawan PMI se Indonesia siap menagih janji Ketua DPR RI yang telah menyatakan akan mengganti Ketua Pansus #RUUKepalangmerahan jika tak segera bersidang menyelesaikan hal-hal yang tidak prinsipiil dalam masa persidangan ke 3 atau terakhir yang telah dimulai sejak tanggal 15 Januari 2014 lalu.

Sambil menunggu itikad baik dari Ketua DPR RI maupun seluruh anggota Pansus #RUUKepalangmerahan yang sebagian besar telah mendengar secara langsung pendapat dan keluh kesah Relawan PMI dalam proses audiensi 5 – 18 Desember 2013, proses konsolidasi kekuatan Relawan PMI terus berlangsung. Termasuk ketika menjalankan tugas kemanusiaan di berbagai lokasi bencana di tanah air. Satu hasilnya adalah seruan agar memelihara dengan sungguh-sungguh Prinsip Dasar Kenetralan dalam pemilu legislatif 9 April 2014 mendatang. Seruan yang disampaikan secara karikaturis nampak pada gambar di bawah ini. Dari keterangan yang dilampirkan dalam gambar tadi jelas sekali bahwa Relawan PMI telah mengambil sikap !

Jika dicermati, sikap tadi adalah satu dari banyak puncak kejengkelan Relawan PMI terhadap proses politik yang tak lagi mengindahkan adab. Siap pasang badan dan mengambil risiko tertinggi (ada yang mengistilahkannya dengan perjuangan sampai titik darah penghabisan). Dan barisan yang militan kian meluas, sekalian melakukan mitigasi jika proses politik bagi #RUUKepalangmerahan akan mengalami hal serupa RUU Lambang.

Karena itu, ketika sebagian anggota DPR RI yang tengah membahas RUU Lambang yang kemudian mengalami jalan buntu setelah tidak tercapai kesepakatan politik bertamasya ke Denmark dan Turki dengan alasan studi banding sikap relawan PMI masih menahan diri meski kian sulit melepas kejengkelan atas "kebodohan yang terpelihara" itu. Sebagaimana kita, masyarakat awam tahu, bahwa studi banding ke luar negeri lebih banyak menjadi ajang wisata gratis tanpa maslahat. Menghamburkan uang rakyat untuk memuaskan syahwat pribadi di balik alasan politiknya.

Terlalu banyak contoh yang bisa diberikan untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa Relawan PMI tak pernah gentar menghadapi risiko maut sebesar apapun dari jaman ke jaman. Memang tidak semua, tapi mayoritas Relawan PMI yang berpegang teguh pada tujuan organisasi sebagai dapat dipastikan sebagai militan dalam pengertian umum. Apa artinya ? Di sinilah yang akan digambarkan sesuai judul tulisan di atas.

Seorang Tutur Priyanto yang bergabung sebagai anggota Tenaga Sukarela (TSR) PMI Kabupaten Bantul sekitar setahun sebelum Gempa Bumi yang berpusat di pantai Selatan Jogja berkekuatan 5,9 SR pada 27 Mei 2005 terjadi, adalah seorang mantan anggota Resimen Mahasiswa dan komandan Banser NU di wilayahnya. Dengan latar belakang itu, ia bukan orang yang asing dengan dunia kemiliteran dalam kadar tertentu. Ia juga tahu akan resiko ketika memutuskan naik ke rumah mBah Maridjan sang  juru kunci Gunung Merapi yang fenomenal itu untuk membujuk dan membawanya menjauh dari aliran lahar panas yang terus mengalir deras dari puncak gunung berapi teraktif di dunia tersebut.

Almarhum Tutur Priyanto adalah satu dari ratusan, bahkan ribuan Relawan PMI militan yang sangat faham dengan segala risiko tugas dan konsistensi memelihara sikap sebagai suka relawan organisasi kemanusiaan yang menjalankan mandat Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Karena kecintaan pada organisasi mendorong para relawan bersedia mempertaruhkan nyawanya. Realitas ini telah terjadi sejak jaman perjuangan merebut dan menegakkan kemerdekaan sampai sekarang.

Posted in , , , , , , | Leave a comment

Saatnya Relawan PMI Beraksi (Kembali) ?




Kehidupan ini acapkali menghadirkan suasana luar biasa. Jauh dari dugaan, apalagi rencana. Sebagai manusia biasa, saya sering menemui hal luar biasa saat diliputi suasana sederhana. Mungkin sesederhana memakai baju untuk menutup aurat dan memenuhi kadar etika serta sedikit estetika. Kesederhanaan yang identik dengan orang kampung.  Dan kampung itu bernama Kampoeng Relawan PMI.



Pada tulisan sebelumnya tentang Kampoeng Relawan sebagai jembatan masa depan PMI mungkin agak ekspresif atau narsistik. Mana mungkin sejumlah "orang kecil" yang berstatus formal kurang jelas akan mampu menjembatani sebuah organisasi sebesar PMI? Jawabnya sederhana, biarlah proses mengalir ! Dan aliran itu memang dijaga dalam konsep sederhana. Bahwa warga Kampoeng Relawan adalah relawan PMI yang senantiasa berupaya menjaga dedikasinya untuk organisasi. Hanya "setia" pada tujuan, bukan orang atau siapapun dirinya.



Kesetiaan yang dilandasi oleh kesadaran pribadi bahwa menjadi relawan kemanusiaan di lingkungan Perhimpunan Nasional (PMI) sebagai bagian dari Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Gerakan) itu adalah panggilan jiwa. Konspirasi hati , meminjam istilah Bang Andi Gumilar dari Jakarta Selatan. Meski tanpa penjelasan memadai, dari sikap dan cara berpikir teman-teman, saya menangkap makna yang lebih dalam dari sebuah pernyataan sikap yang kami sampaikan kepada Ketua DPR RI, Dr. Marzuki Alie 3 Desember 2013 di Ruang Pleno Gedung Nusantara II lalu untuk menuntut pengesahan #RUUKepalangmerahan yang kami nilai akan menjadi ajang politik dagang sapi dan berpotensi mengalami nasib sama (deadlock) dengan genre sebelumnya RUU Lambang inisiatif Pemerintah RI untuk menguatkan dasar hukum atas ratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang diterbitkan dengan UU No. 59 tahun 1958.



Perjalanan Kampoeng Relawan mengawal kedua RUU bagi Perhimpunan Nasional kepalangmerahan di Indonesia juga mengalir begitu saja. Ketika dr. Seno Suharyo dari Surabaya memberitahu saya tentang situasi terakhir pembahasan RUU Lambang yang deadlock itu lewat telepon maupun chatting, saya menyarankan aksi tanda tangan dukungan di seluruh wilayah Indonesia. Respon awal datang dari Kabupaten Bogor kemudian melompat ke Kalimantan dan Bali. Jawa, khususnya Jawa Tengah justru adem ayem alias tanpa respon sebagaimana telah saya prediksi. Realita ini bertolak belakang dengan sebutan provinsi yang pernah dinyatakan sebagai "barometer politik nasional dan basis kaum nasionalis" dan kampung halaman Lurah Kampoeng Relawan (menggelikan sekali!).



Gerakan Relawan PMI mengawal pengesahan #RUUKepalangmerahan bukan tanpa hambatan yang sangat berarti. Pertama, para penggagas yang karena sikap pribadinya menyatakan lebih setia pada organisasi (tujuan) dari pada kepada manusia (pengurus), sering diperlakukan sebagai "kaum marginal". Perlakuan yang biasa dilakukan oleh kaum penjajah yang senantiasa menganggap dirinya lebih berkuasa. Sebagai manusia merdeka, kami tetap bertahan dan lebih memilih jadi "gerilyawan" sebagaimana dilakukan para syuhada Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Sikap yang dalam Prinsip Dasar Gerakan disebut kemandirian (prinsip ke 3) setelah kemanusiaan dan kesamaan. Akibatnya, apapun yang kami lakukan cenderung disikapi dengan curiga (suudzon) oleh kebanyakan pengurus PMI di berbagai tingkatan yang sebagian besar berasal dari kalangan birokrat dan politisi  (dan menganggap diseminiasi kepalangmerahan bisa dipelajari sendiri ???).



Kedua, akibat lebih mengutamakan "kesetiaan" pada tujuan dibanding personalia organisasi, semua sumber daya pergerakan harus diupayakan secara mandiri. Bukan rugi, justru sebaliknya sangat menguntungkan karena tanpa beban transaksional yang biasa dilakukan "pedagang sapi" dan para oportunis. Kalaupun ada pengurus dan staf yang ikut aktif dalam gerakan relawan ini, mereka memang lebih menghargai sikap dan tujuan yang sama. Meski berisiko, mereka siap menanggung akibat yang ditimbulkan dari pengambilan keputusan bergabung dengan Gerakan (Aksi) Relawan PMI untuk pengesahan #RUUKepalangmerahan seperti dilakukan oleh Pengurus PMI Kota Jakarta Selatan yang selama ini menjadi rumah kedua warga Kampoeng Relawan. Apresiasi yang sangat tinggi untuk Bapak Dadang Masduki (Ketua) dan Bang Moch. Adnan (Sekretaris). Kami mencatatnya dengan tinta emas. Dan karena sikapnya itu, saya mengapresiasi keduanya lebih baik dari Joko Widodo yang diprediksi akan jadi kandidat kuat Presiden RI ke 7.



Mengapa Harus PMI ?



Pertanyaan ini sering muncul dari warga masyarakat yang belum tahu PMI secara utuh. Kalaupun tahu, sebatas UDD (Unit Donor Darah) yang sering dikonotasikan sebagai "vampir". Tidak salah, tapi keliru. Lebih keliru lagi menganggap bahwa PMI adalah perwakilan agama hanya melihat sekilas lambang yang dipakai mirip dengan identitas yang biasa dipakai oleh kaum Nasrani. Inilah yang dipahami oleh kaum politisi sektarian yang ingin mengubah Indonesia jadi negara agama setelah gagal membawa isu Piagam Jakarta.



Bagi kami, bukan soal lambang yang lebih mendasar dalam mengupayakan secara maksimal #RUUKepalangmerahan harus disahkan sebelum masa persidangan DPR RI periode 2009-2014 berakhir. Alasan utamanya adalah:



  1. PMI adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah perjuangan kemerdekaan RI sejak 1873 bernama Nerkai dan seterusnya.
  2. RI telah menjadi anggota Gerakan sejak tahun 1958 dan meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 . Dalam konstruksi hukum negara, semua perjanjian internasional yang telah ditanda-tangani (ratifikasi) harus segera dibuat UU.
  3. Banyak relawan PMI tidak mendapatkan perlindungan hukum memadai (baca: diperlakukan diskriminatif) ketika bertugas di lapangan kemanusiaan. Kasus utama yang menginspirasi RUU Lambang adalah penembakan Elang Surya Lesmana, mahasiswa dan relawan PMI dari Universitas Trisakti Jakarta ketika bertugas mengevakuasi korban "Tragedi Trisakti" 13-14 Mei 1998 yang kasusnya kemudian dipetieskan dalam label "kasus politik". Bukan kasus hukum yang berpotensi menjadi insiden internasional sebagai pelanggaran HAM berat.  Inilah kasus yang senantiasa dicatat dalam huruf tebal dan bergaris bawah oleh relawan PMI, khususnya RPI (Relawan Palang Merah Indonesia) dan warga Kampoeng Relawan.
  4. Pengalaman sangat buruk membiarkan proses politik bergerak sendiri di DPR RI dalam RUU Lambang yang sarat kepentingan politik sektarian dan transaksional. Sejumlah dana APBN dibuang sia-sia tanpa pertanggung-jawaban jelas dari orang-orang yang secara langsung atau tidak langsung telah menikmati keuntungan ekonomi dan sosial dari gerakan reformasi yang juga menelan korban Relawan PMI.
  5. PMI harus menjadi organisasi yang sesuai khitahnya sebagai Perhimpunan Nasional. Karena PMI menerima mandat dari pemerintah selaku penyelenggara negara dan Gerakan. Jadi, PMI memang merupakan institusi di dalam sebuah negara yang kedudukannya khusus. Bukan bagian dari organisasi pemerintahan, bukan pula LSM seperti badan hukum yang dimiliki oleh Bulan Sabit Merah Indonesia(BSMI). Kedudukan khusus ini dijelaskan dalam Statuta Gerakan.
  6. Dengan adanya UU Kepalangmerahan yang memenuhi syarat-syarat dalam Statuta Gerakan dan konstruksi hukum Negara RI, organisasi PMI akan diselenggarakan  secara transparan (auditable) dan profesional.



Dalam aksi 3 Desember 2013 dan audiensi dengan beberapa Fraksi di DPR RI setelah itu, termasuk dengan Ketua Pansus #RUUKepalangmerahan, Anshory Siregar dari PKS yang mendukung kuat agar BSMI  agar menggantikan kedudukan PMI sampai opsi minimum  memasukkannya sebagai bagian dari PMI dalam sebuah pola kerjasama, kami menangkap kesan bahwa janji Ketua DPR RI di depan Relawan PMI yang melakukan aksi simpatik (meski kurang menarik perhatian media massa televisi) untuk me-rolling  Ketua Pansus #RUUKepalangmerahan jika masih bersikukuh dengan sikapnya yang mengulur-ulur waktu, akan kami tagih pada kesempatan pertama. Jika lalai, tidak menutup kemungkinan bahwa  Gedung DPR/MPR RI akan menjadi ajang simulai bencana berskala besar seperti ketika Relawan PMI se Indonesia melakukan Operasi Tanggap Darurat di Aceh (2004-2005) maupun lokasi bencana lainnya.



Ini bukan ancaman. Tapi merupakan ekspresi pendapat Relawan PMI  sebagai warga negara Indonesia. Kami bergerak bukan sebagai RPI, Kampoeng Relawan atau komunitas lainnya. Dengan jumlah lebih dari 2 juta orang yang sebagian besarnya adalah "militan", Relawan PMI se Indonesia dari berbagai elemen PMR, KSR, TSR dan DDS siap mengawal perjalanan akhir #RUUKepalangmerahan mengalir tanpa pembiaran apapun.

Posted in , , , , | Leave a comment

MENGAWAL #RUUKEPALANGMERAHAN - BAGIAN IV



Meski tidak dilakukan secara formal, seolah telah menjadi tradisi, masing-masing pribadi mengambil dan melakukan peran yang mampu dilakukan sesuai kapasitasnya. Pola kerja tim memang merupakan kebiasaan yang terjadi pada pekerjaan lapangan. Relawan PMI yang memiliki kapasitas tertentu memberikan kontribusi tertentu pula. Dari masing-masing kontributor kemudian diakumulasikan sebagai kekuatan dalam melakukan aksi di lapangan.

Kesimpulan awal tentang situasi aktual proses pembahasan #RUUKepalangmerahan yang dibuat pada pertemuan 31 Oktober 2013 di Markas Jakarta Selatan kemudian disosialisasikan kepada kalangan terbatas agar tidak kehilangan fokus dalam satu forum diskusi (chatting) kelompok di Kampoeng Relawan. Ada dua pemikiran besar yang berkembang. Pertama, melakukan tekanan kepada Ketua DPR RI melalui pengiriman pesan singkat (sms) dalam jumlah besar dan bergelombang sebagai pengingat (alert) bagi Dr. Marzuki Alie atas pernyataan yang disampaikan kepada Relawan PMI di arena TKN V Malang akhir Juni 2013 yang lalu. Teknik yang telah diperhitungkan sebagai schock theraphy ternyata cukup efektif. Terbukti dari pernyataannya di depan para relawan yang datang ke Gedung Nusantara II Lantai 11 pada Selasa, 3 Desember 2013. Dengan alasan memakai ponsel lama dan satu-satunya (?), alat itu jadi nyangkut (hang) dan tak berfungsi untuk sementara waktu. Bahkan dengan nada marah yang tertahan, dengan alasan sama bahwa nomor ponsel miliknya juga digunakan secara umum untuk menampung aspirasi seluruh warga masyarakat, maka diharapkan cara pengiriman pesan secara missal agar tidak terjadi lagi.

Opsi kedua adalah melakukan audiensi ke Panitia Khusus #RUUKepalangmerahan dengan atau tanpa pendampingan dari Pengurus Pusat. Di sinilah kata kuncinya. Jika Pengurus Pusat yang akan kami minta informasi perkembangan dan upaya-upaya yang telah dilakukan bersedia mendampingi, maka kita berjalan bersama demi organisasi. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya maka Relawan PMI akan bergerak sendiri dengan segala risikonya. Opsi ini sebenarnya merupakan pilihan terbaik karena akan mengembalikan kepercayaan relawan kepada pengurus selaku penanggung jawab organisasi secara formal dan legal. Minimal menurut AD/ART PMI dan aturan umum tentang penanggung jawab dalam suatu organisasi berbadan hukum.

Pada opsi kedua, kami berbagi tugas dengan Pengurus PMI Kota Jakarta Selatan yangmenyatakan dukungan penuh sejak diberitahu secara lisan dan dimintakan ijin menggunakan fasilitas untuk pergerakan Relawan PMI melalui Andi Gumilar. Baik Ketua maupun Sekretaris beberapa kali menyatakan hal itu kepada kami sewaktu bertemu informal. Bahkan saya sering berseloroh dengan Bang Adnan, bahwa selama kami tidak ”diusir”, Markas Jakarta Selatan merupakan rumah kedua. Yang pertama tentu di rumah masing-masing.

Komitmen Pengurus PMI Jakarta Selatan tidak hanya menyediakan fasilitas minimal seperti kebanyakan pengurus di kabupaten/kota lain dalam kapasitas kunjungan relawan luar daerah secara informal. Tapi maksimal, dari tempat (khususnya ruang rapat pengurus, aula dan ruang KSR), kendaraan dan lain-lain. Bahkan kami sangat sering dijamu makan pagi, siang maupun malam. Selain itu, semua orang baik Pengurus, Staf, relawan dan orang-orang yang ada di Markas Jakarta Selatan memperlakukan kami dengan sangat terhormat, ramah dan bersahabat. Suasana yang dibangung persis di rumah atau kampung halaman sendiri.

Peran Bang Adnan sangat beragam. Mulai dari wakil tuan rumah, komunikator bagi jajaran pengurus di sekitar DKI Jakarta dan peserta audiensi dilakukan oleh beliau dengan senang. Sejauh yang kami tahu, Bang Adnan selalu mengkomunikasikan kehadiran kami kepada Bapak H.M. Muas selaku Pengurus PMI Pusat Bidang Relawan. Upaya yang tidak sekali saja dilakukan. Jadi, lebih dari cukup upaya kami untuk memberitahu dan tidak dimungkinkan mengundang baik informal, apalagi secara formal. Bukan karena takut atau sungkan, tapi untuk menjaga suasana gerakan tetap berlandaskan kemandirian dan kesukarelaan.

Perubahan besar terjadi ketika Alvis Syamsi memberitahu kepada teman-teman yang telah berkumpul di aula Markas Jakarta Selatan pada 22 November 2013 sekitar jam 8 malam. Pesan singkat yang ia kirim ke Pak Marzuki Alie tentang keinginan kami bertemu beliau di DPR RI dijawab positif sesuai rencana yaitu tanggal 3 Desember 2013. Jawaban ini diteruskan ke ponsel Pak Muas yang dibalas dengan pembicaraan. Intinya, Pengurus Pusat atau minimal beliau akan mendampingi kunjungan Relawan PMI ke Ketua DPR RI untuk menanyakan kesanggupan beliau di TKN V Malang 27 Juni 2013 yang lalu. Dari sini kami mulai mengatur caranya. Eko Legok (Sleman) banyak memberi masukan penting malam itu selain Fitri, Seto, Deni, Dodi, Alvis dan Andi. Sementara itu, Achy Setiadi (Bekasi) menyatakan kesanggupan untuk menyediakan ”tanda khusus” bagi peserta aksi dalam jumlah cukup. Aksi yang selanjutnya disebut ”konspirasi hati” tetap dipelihara sebagai aksi murni Relawan PMI se Indonesia secara mandiri dan suka rela. Relawan di wilayah Jabodetabek merupakan inti kekuatan dan didukung oleh perwakilan dari sejumlah provinsi.

Posted in , , , , | Leave a comment