Kepala BNN. Komjen Pol. Anang Iskandar
“Penyakit itu seperti pajak atas hidup. Ada orang yang dipajaki tinggi, ada yang rendah. Tapi semua harus membayar.”
-Lord Chesterfield
Bila rekan-rekan pernah mendengar bahwa pada tahun 2010 diperkirakan jumlah penderita AIDS akan mencapai 400 ribu orang, apa reaksi Anda? Kebanyakan dari kita hanya mengangkat bahu,”Mau bagaimana?” Pada tahun 2015, angka di atas akan menjadi 1juta orang.
“Lalu? HIV/ AIDS ditularkan melalui hubungan seksual atau melalui jarum suntik yang terkontaminasi. Selama saya dan keluarga saya lurus-lurus saja, HIV tidak akan jadi masalah saya toh?” jawab seorang teman. Itu mungkin betul. Tapi coba ikuti cerita di bawah ini.
Seorang teman kami yang pengusaha, suatu hari dikejutkan oleh berita bahwa salah satu karyawannya ternyata didiagnosis menderita tuberkulosis (TBC) dan dilarang bekerja oleh dokter agar tidak menularkan penyakitnya ke karyawan lain. Karena khawatir, ia memerintahkan semua karyawan yang satu lantai dengan si sakit untuk memeriksakan diri. Ternyata hampir separuh dideteksi tertular, walaupun tidak parah dan bisa diobati dengan mudah.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanyanya. “Saya pikir tuberkulosis adalah penyakit zaman dulu.”
Asumsi yang keliru. Tuberkulosis bisa dibilang penyakit zaman dulu dalam arti obat dan vaksin untuk mencegahnya sudah tersedia. Tapi ini bukan berarti tuberkulosis sudah sirna dari muka bumi. Yang ada justru sebaliknya. Nanti dulu: Apa hubungannya tuberkulosis dengan HIV?
HIV adalah salah satu faktor penting yang mendorong penyebaran tuberkulosis. Satu dari tiga orang yang terinfeksi HIV, juga terinfeksi tuberkulosis. Seberapa seriuskah masalah tuberkulosis di Indonesia? Negara kita berada di peringkat ke tiga tertinggi di dunia dalam jumlah insiden tuberkulosis. Ya betul, ada faktor populasi, karena tuberkulosis menyebar melalui udara. Semakin padat populasi, tentunya semakin banyak yang bisa tertular.
Mari kita ulangi fakta-faktanya: pada tahun 2010 diperkirakan jumlah penderita AIDS akan mencapai 400 ribu orang. Pada tahun 2015, angka ini akan menjadi 1 juta orang. Satu dari tiga orang yang terinfeksi HIV, juga terinfeksi tuberkulosis. Nah, jadi kalaupun Anda bisa menghindari tertular HIV/ AIDS dengan hidup “lurus-lurus” saja seperti komentar salah satu teman kami di atas, tidak semudah itu dengan tuberkulosis. Di bioskop, di bus kota, bahkan di kantor seperti cerita di atas-Anda bisa tertular. HIV/ AIDS adalah masalah kita sama seperti tuberkulosis adalah masalah kita.
Lalu bagaimana dong?
Mari lihat fakta ini: hampir separuh penularan AIDS terjadi melalui pemakaian obat terlarang dengan jarum suntik. Separuh! Itu berarti bila kita bisa menangani masalah penggunaan obat terlarang, dengan baik, separuh dari kasus penularan yang ada tidak akan terjadi. Bagaimana cara kita selama ini menangani masalah penggunaan narkoba? (Petunjuk untuk menjawab: ingat-ingat nama Ahmad Albar, Fariz RM, Roy Marten, atau Sheila Marcia). Ya betul: mereka kita tangkapi dan kita masukkan ke penjara. Apakah menurut kita ini sebuah solusi? Mari kita mengobrol lebih jauh. Ketergantungan pada obat konon dapat diatasi dengan:
- Terapi atau detoksifikasi, yang bisa berarti sedikit demi sedikit mengurangi dosis pemakaian, atau untuk sementara memberi obat pengganti yang risikonya lebih rendah. Menghentikan pemakaian secara tiba-tiba dapat menimbulkan efek samping yang membahayakan (misalnya halusinasi, kejang-kejang, paranoia, sampai tendensi untuk bunuh diri). Untuk itulah diperlukan terapi yang akan membantu penderita melepaskan diri dari ketergantungan secepat mungkin tetapi tetap dengan cara yang aman.
- Setelah terapi/detoksifikasi di atas, perawatan dilanjutkan dengan konseling dan support group, di mana dokter, keluarga, dan teman terus mendukung usaha penderita untuk tidak kembali terjerumus. Bisakah lembaga pemasyarakatan kita memberikan bantuan seperti itu? Dari 101.036 penghuni lembaga pemasyarakatan di Indonesia, 23.409 di antaranya masuk penjara karena narkoba. Tujuh puluh persen di antara mereka adalah pengguna, dengan 40% mengonsumsi narkoba dengan jarum suntik. Perilaku ini tidak berubah ketika mereka berada di balik jeruji besi, dan ini membuat lembaga pemasyarakatan menjadi tempat berisiko tinggi untuk penyebaran HIV. Sebuah studi di Bali menunjukkan bahwa 56% narapidana pengguna narkoba dengan jarum suntik terinfeksi HIV.Penjara, alih-alih membantu melepaskan mereka dari ketergantungan, justru memberi mereka masalah baru.
Kalau penjara bukan solusi, lalu bagaimana dong?
Pertama adalah dengan berhenti memperlakukan mereka sebagai penjahat, dan lebih melihat mereka sebagai orang yang membutuhkan bantuan kita. Tidak seorang pun pernah bercita-cita untuk rnenjadi pecandu narkoba, sama seperti tak seorang pun pernah berangan-angan untuk menjadi pecandu alkohol atau pecandu rokok. Mereka ingin berhenti dan mereka membutuhkan uluran tangan kita. Beri mereka simpati, bukan rasa benci.
Mohon jangan salah paham. Kami tidak mendukung pemakaian narkoba, atau berargumen bahwa narkoba harus dilegalkan. Tidak sama sekali. Kami hanya ingin kita membedakan antara pengedar narkoba dengan pengguna narkoba.
Pengedar narkoba adalah penjahat, pengguna narkoba bukan. Pengedar narkoba merugikan dan menjerumuskan banyak orang, pengguna narkoba merugikan dan merusak diri sendiri. Pengedar narkoba adalah pelaku kejahatan, dan pengguna narkoba adalah korbannya.
Ya, mungkin mereka membuat keputusan yang salah di masa lampau yang membuat mereka terjerumus. Ya, mungkin mereka bergaul dengan teman yang salah. Ya, mungkin mereka terlalu bodoh untuk iseng mencoba hingga akhirnya kecanduan.
Tapi mereka adalah juga teman kita, saudara kita, bahkan anak kita sendiri. Lihat fakta ini: dari 500 lebih responden remaja pengguna narkoba, termasuk pelajar dan mahasiswa, 50 persen memulai penggunaan narkoba pada usia 9-15 tahun. Dari para pengguna narkoba diketahui bahwa 88 persen menggunakan ganja secara rutin. Sekitar 36 persen di antaranya adalah pengguna narkoba suntikan yang notabene berisiko tinggi menularkan HIV. Sisanya secara rutin menggunakan heroin seperti putau dan jenis amfetamine seperti shabu-shabu.
Dalam jangka 2-3 tahun sesudah mulai memakainya, mereka akan berpindah ke narkoba suntikan. HIV lagi. Dan yang terakhir: sekitar 45 persen orangtua pengguna narkoba selama bertahun-tahun tidak mengetahui anaknya menggunakan narkoba. Jelas. Bagaimana anak kita mau mengakui ketergantungan mereka, bila setelah ketahuan kita akan memperlakukan mereka sebagai kriminal?
Akibatnya, mereka pun melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.
Dan ketika akses untuk mendapatkan jarum suntik yang bersih tidak lagi ada, mereka pun menggunakan jarum yang sama secara bergiliran. Yang terjadi selanjutnya kita semua sudah tahu. Memang betul bahwa kita tidak ingin anak-anak kita terjerumus ke cengkeraman narkoba dan kita buat semua peraturan, hukum, dan undang-undang untuk mencegah itu terjadi. Tapi bila sudah terlanjur, opsi kita bukan lagi bagaimana mencegahnya, melainkan bagaimana secepatnya membantu mereka keluar dari situ. Dan dari sini lalu muncul pilihan moral yang harus kita terima: kalau memang anak kita adalah pecandu narkoba, inginkah kita tahu?
Mana yang kita pilih, membiarkan mereka sembunyi-sembunyi melakukannya dengan risiko tertular HIV, atau menerima mereka dengan besar hati, lalu membimbing mereka untuk keluar dari situ? Atau kita lebih pilih mengirim anak/Sdr/rekan/sahabat kita ke penjara?
Regards,
Tri Sugiarto