Archive for Agustus 2013

Kado Ultah Negeriku - Nasionalisme Seorang Relawan PMI

Foto Status Nova Wijaya
Oleh Toto Karyanto

Jika kita bertanya kepada kebanyakan remaja Indonesia saat ini tentang mimpinya, mungkin akan diperoleh jawaban ingin menjadi orang kaya, terkenal dan berlimpah pujian seperti gambaran kehidupan para selebriti idolanya. Satu hal yang masih bisa dinilai wajar atau sebaliknya. Wajar karena mereka adalah pewarna utama kehidupan masa depan. Tanpa mimpi atau cita-cita, ibarat berjalan tanpa bekal peta dan rambu-rambu jalan. Melayang tak tentu arah, tabrak kiri-kanan, sruduk depan-belakang dan membahayakan diri serta orang lain. Dengan mimpi, bangsa Amerika Serikat ingin selalu jadi pesohor di segala bidang kehidupan.

Saat menorehkan catatan ini, ada satu hal yang sangat menarik pada status teman relawan muda PMI yang dikenal luas pergaulannya. Foto bertuliskan ekspresi nasionalisme ala gadis 18 tahun. Ketika ia bisa bermimpi, belajar, beraksi, percaya, buktikan dan cinta untuk Indonesia, Nova Dewi Lintang Kusuma Wijaya seolah ingin meyakinkan diri dan banyak orang untuk memahami keindonesiaannya. Meski dibayangi ketidakyakinan atas originalitas ekspresi itu, keberanian mengungkapkan di depan publik layak diapresiasi. Apalagi ada di tengah kegamangan bahwa nasionalisme alias paham kebangsaan Indonesia  kini (seolah)  berada di simpang jalan antara mondialisme dan sektarianisme.

Nova salaman sama Pak Muas

Foto bareng pasca berburu tanda tangan dukungan Ketua DPR RI

Bermimpi seperti apa atau bagaimanakah Indonesia itu? Tanpa harus berbuat seperti ahli nujum, peramal atau mentalist; saya berusaha membuat gambaran kasar tentang Indonesia yang diimpikannya. Yakni satu bangsa yang warganya saling mengenal, menyapa hangat, bergotong royong dan bekerja keras dalam mewujudkan suasana aman, tentram, damai, bermartabat, maju, adil dan makmur. Selalu hadir saat-saat yang penuh dinamika dan kesetaraan. Indonesia yang memberi ruang luas untuk mengekspresikan beragam sisi kemanusiaan para warganya. Terus bergerak maju dalam menggapai puncak-puncak prestasi lokal, nasional maupun global tanpa perbedaan gender, status sosial dan sebagainya. Memanusiakan manusia sesuai fitrahnya sebagai mahluk dan pemimpin dunia.

Kesadaran bahwa manusia adalah mahluk yang paling mulia, berbekal akal untuk belajar mengenal diri dan lingkungan sekitar. Satu proses pembelajaran sepanjang hayat di kandung badan dan berlandaskan nurani agar saling mengasihi, tolong menolong dalam kebaikan serta membawa manfaat seluas samudera, sedalam lautan dan buat seluruh isi alam semesta. Sejarah untuk bercermin dan ilmu pengetahuan serta teknologi untuk bergerak maju. Indonesia yang terus belajar dari pengalaman agar kehidupan dapat terus berjalan dan kesaksian ditegakkan. Indonesia yang berwarna warni tapi tetap merah putih di setiap ujungnya. Manusia Indonesia yang saling menerangi kehidupan dan penghidupan. Bukan hanya belajar dari dan tentang kegelapan nurani yang banyak menghias keseharian akhir-akhir ini.

Belajar memaknai kebangsaan Indonesia yang sesungguhnya, dalam beragam warna dan rupa kehidupan. Mungkin juga untuk memuaskan rasa ingin tahu, mengapa Indonesia yang begitu kaya bak jamrud di katulistiwa masih banyak penduduknya yang fakir dan miskin harta benda, pengetahuan dan terutama mentalitasnya. Apa yang salah dan bagaimana cara memperbaiki? Dan belajar dari kehidupan adalah aksi, bukan sekadar teori atau omong kosong. Apalagi provokasi. Dengan belajar terus menerus untuk beragam pengetahuan dan pengalaman, aksi itu akan mendorong munculnya kreativitas dan inovasi. Proses pembaruan terus menerus tak kenal lelah serta batas ruang dan waktu dengan tetap berarah pada tujuan, cita-cita atau mimpi itu. Mimpi Indonesia (Indonesian Dream) sebagai manusia (bangsa) yang beradab dan bermartabat. Inilah ekspresi diri dan berharap juga menjadi ekspresi masyarakat luas.

Ekspresi diri seorang Relawan PMI yang senantiasa berlatih (pada kehidupan) dan memperbarui pengetahuan dan pengalaman agar memiliki kesempatan cukup untuk mewujudkan mimpi Indonesia itu. Luasnya lapangan pengabdian diri pada kemanusiaan universal sejatinya tidak menjadi faktor penghalang dan mengeliminasi nilai-nilai kebangsaannya. Justru sebaliknya, merupakan kekuatan pendorong dalam menjalankan aksi-aksinya bagi keluarga besar Indonesia. Karena berbekal kepekaan nurani yang terasah dalam menjalankan tugas dan kewajiban kemanusiaannya. Inilah hal mendasar bagi upaya memelihara martabat dan peradaban manusia yang sangat mungkin tidak dimiliki para relawan politisi yang banyak bermunculan di musim kampanye politik. Karena hakikat relawan itu bukan profesi, tapi ladang amal yang harus dipelihara dengan ilmu dan aksi (karya nyata) bagi masyarakat.

Dengan pemahaman tadi, sikap terbaik untuk menyatakan kecintaan kepada tanah air dan bangsa Indonesia dilandasi kepercayaan bahwa di sinilah kita hidup dan wajib menjunjung tinggi peradaban serta martabat manusianya. Dengan menjadi relawan kemanusiaan pada perhimpunan nasional kepalangmerahan Indonesia (PMI) kepercayaan itu hadir secara utuh. Berbakti pada ibu pertiwi dibuktikan dengan karya nyata di ladang amal kemanusiaan dalam beragam situasi. Ketika situasi aman, kita belajar dan berkarya nyata. Apalagi dalam suasana darurat kebencanaan, baik karena faktor alam maupun perilaku manusia yang tidak menghargai peradaban dan martabat manusia pada umumnya.


Semoga pemaparan pada catatan saya ini tidak keliru tafsir dalam memaknai kecintaan kita kepada tanah air dan bangsa Indonesia seperti dinyatakan Nova dalam status facebook-nya di atas. Ekpresi yang sarat pesan moral dan bahan pembelajaran. Jika ini adalah hasil perenungan sepanjang Ramadhan kemarin, berbahagialah dirinya mampu menggapai makna fitri . Dirgahayu Kemerdekaan Bangsa Indonesia  dan Palang Merah Indonesia ke 68.  

Tulisan ini dimuat juga dalam Catatan Pribadi.

Posted in , , , , , , , | Leave a comment

Relawan PMI Berdedikasi dan Relawan Lainnya

Suasana pada acara Stand Up Volunteer 2 di sela giat TKN V

Oleh: Toto Karyanto
Dalam satu dasawarsa terakhir, sebutan relawan sering muncul dalam berbagai aktivitas politik terutama menjelang pemilihan umum. Berbeda dari posisi di PMI, relawan politik boleh dibilang sebagai pelengkap penderita. Mereka juga sering menjadi obyek pencitraan diri politisi yang pada akhirnya justru diposisikan sebagai korban ambisi politik entah berlabel kandidat presiden gubernur, bupati atau kepala desa. Kecenderungan ini terus berulang sampai kemudian muncul kesadaran bahwa para relawan politik tak lebih dari satu bentuk penjajahan berselubung demokratisasi. Tetap ada (bahkan cukup banyak) orang yang bersedia diperlakukan demikian karena termotivasi akan mendapat imbal jasa entah berupa materi, jabatan atau pekerjaan tertentu jika para kandidat yang dibelanya menduduki posisi yang diincarnya.

Berbeda dengan militansi relawan organisasi kemanusiaan di PMI misalnya. Mereka datang dengan satu kesadaran untuk menolong sesama sebagai perwujudan nilai kemanusiaan universal. Kesadaran ini mendorong upaya pembaruan pengetahuan dan ketrampilan praktis yang diperlukan untuk menjawab masalah-masalah aktual secara terus menerus baik secara formal melalui pengembangan kapasitas dalam beragam bentuk pelatihan teknis yang diselenggarakan oleh PMI di berbagai tingkatan. Maupun melalui cara-cara informal, berbagi informasi, pengetahuan dan ketrampilan antar relawan.

Kehadiran media sosial berbasis internet seperti Facebook, Twitter, Blog dan sebagainya adalah media yang cukup efektif untuk melakukan proses pembaruan di atas. Bahkan. Media sosial ini adalah sarana yang sangat efektif untuk melontarkan gagasan-gagasan baru yang segar dan visioner. Kesadaran akan pentingnya pembaruan yang berkelanjutan ini mengharuskan para relawan berpola pikir lepas dari keterkungkungan formalitas, pakem dan sejenisnya. Istilah umumnya adalah out of box. Pola pikir seperti ini membuat respon relawan berdedikasi terhadap situasi sulit dan darurat lebih kuat dan efektif. Dan ini telah dibuktikan di berbagai situasi bencana alam maupun kemanusiaan oleh banyak relawan PMI, PNS (palang merah/ bulan sabit merah negara sahabat) maupun berbagai organisasi kemanusiaan dunia lainnya.

Sebenarnya, dalam organisasi kemanusiaan yang tergabung dalam Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak dikenal istilah militan karena tidak sesuai dengan tujuh prinsip dasar yang menjadi pijakan utama segala aktivitas organisasional. Istilah berdedikasi lebih pas dan mewakili. Berdedikasi bukan kepada personalia atau orang-orang yang ada di dalam (sebut saja pengurus atau staf), tetapi lebih pada tujuan, misi dan visi organisasi. Bahkan, kalaupun seorang relawan tidak suka dengan para personalia organisasi di satu tempat, ia akan mencari di tempat lain yang bersedia memfasilitasinya. Atau justru dicari oleh wilayah tertentu.

Dalam banyak hal, relawan kemanusiaan berbeda dengan relawan politisi. Selain perbedaan peran, kedudukan dan orientasinya, relawan kemanusiaan cenderung lebih mengedepankan cara berfikir positif dan inovatif. Sementara itu, relawan politisi meski memiliki militansi biasanya bersikap eksklusif dan overprotective terhadap pribadi sang politisi ketimbang berupaya maksimal mewujudkan visi dan misinya. Tapi kecenderungan inipun kausistis dan sangat sementara.
Memang tidak sebanding untuk menyandingkan keduanya. Karena banyak perbedaan mendasar yang melatarbelakangi. Mulai dari orientasi pribadi, kesadaran diri, cara berpikir, sikap menghadapi masalah dan sebagainya. Bagaimanapun panjang jarak perbedaan itu, sebagai umat manusia, keduanya punya kesamaan yakni afiliatif. Satu berafiliasi pada tujuan, yang lain pada personal atau figur seseorang. Dari sekian banyak perbedaan, relawan kemanusiaan unggul dalam hal mental dan moral.


Tanpa mentalitas prima, seorang relawan kemanusiaan akan segera kehilangan segala kemampuan dan kendali diri ketika harus berhadapan dengan satu pilihan yang menyangkut nyawa manusia yakni mengutamakan korban hidup dan yang terparah kondisinya. Karena itu ada jargon “ tak pernah takut mati, tapi kuatir akan kelaparan”. Di sini, latihan kemampuan bertahan hidup di segala medan seperti dalam kemiliteran diajarkan dengan versi dan pendekatan yang berbeda. Juga beberapa pengetahuan tentang senjata pembunuh tanpa pernah berusaha menggunakannya. Dengan kata lain, relawan kemanusiaan di PMI juga harus tahu cara kerja senjata pembunuh dengan tujuan untuk melumpuhkan sifat mematikannya.

Berita tewasnya seorang relawan PMI yang tengah menjalankan tugas kemanusiaan di daerah konflik, Papua, akhir Juli 2013 yang lalu diangkat dalam beragam versi. Ketika dilansir pertama kali oleh media lokal Bintang Papua disebutkan bahwa menurut penuturan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Papua, Drs.Johanis Safkaur, M.M., mengatakan, 3 tenaga medis yang tertembak di Puncak Senyum, Kabupaten Puncak Jaya adalah anggota Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Provinsi Papua Wilayah Puncak Jaya. Hal ini dikuatkan oleh Sekretaris Jendral PMI Pusat, Budi Adiputro, yang mengutuk keras tindakan yang dinilai melanggar Konvensi Jenewa 1864 dan 1949 tersebut saat melakukan pertemuan terbatas dengan Polri dan TNI. Sementara itu, dalam hal penyebutan nama, ada yang menyebut nama Erik Yoman sebagaimana dilansir Kompas.com  atau Eri Wonda versi Tempo.co  dan  news.okezone.com . 

Ketidakjelasan pemberitaan di atas nampaknya menguatkan asumsi yang berkembang di lingkungan PMI, khususnya para relawan yang mengawal perjalanan pembahasan RUU Lambang Palang Merah yang berlangsung lebih dari 7 tahun (2005 - 2012) kemudian berganti nama menjadi RUU Kepalangmerahan (2012 - 27 Juni 2013) memang tidak dilakukan dengan bersungguh-sungguh baik oleh DPR selaku pengusul maupun Pemerintah RI  sebagaimana dijelaskan oleh Ketua DPR RI-Dr. Mazuki Alie . Ada yang berseloroh, karena menyangkut kepentingan PMI yang nota benernya adalah "tak beruang" maka proses pembahasannya seihlasnya alias kalau ada sisa waktu. Tapi ada juga yang menyikapi suasana ini sebagai bentuk hilangnya kepekaan nurani kemanusiaan para anggota Dewan yang akan menjadi lebih terhormat jika mereka memiliki dan menggunakannya untuk melihat dampak penundaan itu.

Relawan PMI yang menangkap gelagat buruk ini kemudian berupaya mencari tahu sebab-sebab teknisnya dari PMI Pusat. Di sisi lain, ada sebagian relawan melakukan analisis politik terutama untuk mengetahui penyempitan arus isu melalui kajian berita media massa dan khususnya media sosial. Kenapa media sosial semacam Facebook, Twitter, Blog dan lain-lain menjadi perhatian utama? Setiap kali relawan PMI yang tengah melakukan kajian politik ini, semakin banyak ditemukan fakta bahwa pihak atau partai politik yang tidak suka lambang palang merah dan PMI sedang gencar memanfaatkan media sosial untuk menggiring opini publik dalam proses pencitraan dirinya sebagai partai politik papan atas. Bahkan dengan cara-cara yang sangat bertentangan dengan hakikat nilai yang mereka usung sebagai bahan dasar kampanye pada proses pencitraan itu. Gusti Allah boten sare ! Allah itu Maha Adil dan Kuasa atas segala sesuai di alam semesta.

Munculnya kasus impor daging sapi yang menyeret presiden Partai Keadilan Sejahtera, Lutfi Hasan Ishak sebagai bagian dari pelaku tindak pindana korupsi yang disangkakan kepada Achmad Fatonah yang kemudian diketahui publik sebagai playboy tetap dibela dengan beragam cara melalui media sosial dengan intensitas sangat luar biasa. Ada yang memakai identitas terang, tapi sebagian besar tanpa nama atau memakai nama lain (nickname). Satu diantaranya nampak pada tulisan saya si centil yang suka menohok. Dan juga yang masih ringan  menyoal lambang PMI . Terakhir muncul hal serupa di grup facebook TKRNasional yang kebanyakan anggotanya adalah Relawan PMI ketika ada debat sengit pengguna akun Moh. Kafrawi yang memakai foto profil anggota Pasukan Khusus TNI AD (Kopassus) dan saya menanggapi kiriman dan tanggapan dua pemilik akun yang saya kenal dekat pribadinya. Inilah satu kecil bukti perbedaan mendasar integritas dan dedikasi  Relawan PMI dan relawan politik atau yang lainnya. 

Orientasi politik Relawan PMI adalah pengamalan ilmu pengetahuan, sedangkan relawan politik pada figur politisi atau partai politik tertentu. Sementara itu, dedikasi Relawan PMI adalah pada tujuan visi kemanusiaan universal yang sebenarnya merupakan pengeja-wantahan dari ajaran dan tujuan Islam yang memberi kebaikan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta (rahmatan lil 'alamin) ini. Dan ini juga yang menjadi roh  Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Relawan PMI yang berdedikasi menjaga roh tersebut dengan segenap jiwa dan raga.

H. Tutur Priyanto, Charles Taroreh, Dadi Kusmayadi dan Heri Yoman alias Eri Yoman atau siapapun nama asli para Relawan PMI yang gugur saat menjalankan tugas kemanusiaan di Puncak Jaya, Papua akhir Juli 2013 adalah catatan sejarah bagi PMI dan Bangsa Indonesia. Juga sejumlah korban perang kemerdekaan yang diberi tanda khusus (prasasti) di Malang. Boleh jadi ada nama dan peristiwa lain yang terlewatkan dalam catatan sejarah. Meski organisasi PMI diguncang dari luar melalui banyak hal, khususnya proses politik sektarian pembahasan RUU Kepalangmerahan dan kepicikan sejumlah orang yang mendapat amanah menjalankan organisasi PMI di berbagai tingkatan, di manapun dan dalam kesempatan apapun, Relawan PMI yang berdedikasi tinggi pada tujuan, misi dan visi Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah akan tetap dan selalu ada. Inilah yang membedakan kadar dedikasi Relawan PMI dengan relawan lainnya.

Tulisan ini juga dimuat di Catatan Pribadi     

Posted in , , , , , , , | Leave a comment

Relawan PMI Gugur (Lagi)!


Foto: SHNews
Oleh : Nuzulul Arifin

Disaat Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepalangmerahan menjadi tarik ulur di Senayan. Nun jauh disana, di bumi Papua, satu orang lagi relawan Palang Merah Indonesia (PMI) gugur dalam menunaikan tugas kemanusiaan. Heri Yoman (32) menjadi martir bagi ibu pertiwi yang membesarkannya.
Kejadian Rabu (31/7) sekitar pukul 14.30 WIT terhadap 3 orang kru ambulans PMI di Puncak  Senyum, Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya menunjukkan bebalnya pemahaman masyarakat terhadap tugas-tugas kemanusiaan yang diemban oleh relawan PMI khususnya dan pemahaman terhadap Hukum Humaniter Internasional umumnya.
Siapapun pelakunya, apapun motifnya, hal tersebut adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Sesuai Konvensi Jenewa (1864 dan 1949), relawan palang merah atau bulan sabit merah haruslah dilindungi saat melakukan tugas kemanusiaan sesuai dengan desiminasi Hukum Humaniter Internasional  dan nilai-nilai hakiki perikemanusiaan. Hal ini menjadi preseden buruk tentang carut-marutnya kondisi sosiopolitik di bumi Papua dan Indonesia pada umumnya.

Konflik telah memakan ‘anak kandung’-nya. Palang Merah Indonesia sebagai induk organisasi relawan palang merah di Indonesia tentu akan melakukan langkah-langkah strategis guna mengantisipasi agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. Diseminasi Hukum Humaniter Internasional menjadi keniscayaan yang harus dibangun lebih giat lagi. Utamanya terhadap pemuka-pemuka suku yang ratusan jumlahnya di bumi Papua.
Tentu PMI tidak dapat bergerak sendiri. Palang Merah Papua New Guinea sebagai mitra internasionalnya hendaknya dapat digandeng untuk melakukan hal itu. Ketua PMI Pusat, H.M. Jusuf Kalla tentu sudah cukup piawai dalam hal ‘menembus batas’ sebagaimana dilakukannya pada negara-negara yang sedang mengalami  konflik politik.

Dukungan politik terhadap peran PMI juga menjadi keniscayaan yang tidak bisa dihambat lagi

Tahun 2004-2013, sembilan tahun bukanlah rentang waktu yang pendek untuk ‘menelorkan’ satu undang-undang yang mengatur tentang Lambang Perhimpunan Nasional Palang Merah (sesuai dengan nama RUU dan fakta sejarah yang ada di Indonesia). Tugas kemanusiaan yang diemban oleh Palang Merah Indonesia sejak kemerdekaan hingga kini jangan lagi menjadi angin lalu. Wakil rakyat (DPR) yang duduk manis di Senayan jangan lagi bermain-main dengan retorika dan janji-janji palsu. Relawan tidaklah membutuhkan retorika atau janji-janji palsu itu. Namun pembuktian terhadap  segera disahkannya RUU menjadi UU Kepalangmerahan.
H. Tutur Priyanto (Yogya), Charles Taroreh (Manado), Dadi Maryadi (Bogor) dan terakhir anggota PMI yang tewas tertembak di Puncak Jaya Papua (Heri Yoman) adalah pahlawan serta inspirator bagi relawan-relawan lainnya. Sebelum itu, di tengah suasana perang menegakkan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, telah gugur beberapa relawan PMI sewaktu menjalankan tugas kemanusiaan dan kebangsaan. Bahwa sewaktu-waktu bahaya mengancam jiwa dalam tunaikan tugas kemanusiaan, baik dalam kondisi damai maupun perang. Jika momen ini tidak dapat menjadi pelecut bagi disahkan UU tentang Lambang Palang Merah, tentu Pak Marzuki Alie dan seluruh wakil rakyat di Senayan tidak perlu menunggu (lagi) jiwa-jiwa relawan menjadi martir.


Semoga Alloh memberikan keteguhan hati bagi saudara-saudaraku relawan PMI di seluruh negeri. Semoga Alloh memberikan kekuatan hati untuk membukakan matahati para anggta DPR yang terhormat, untuk tidak menunda-nunda lagi disahkannya UU Lambang Palang Merah hanya untuk kepentingan politik sesaat.

Posted in , , , , , , , | Leave a comment

ANALISIS BERITA SEPUTAR POLEMIK LAMBANG PMI


Oleh: Toto Karyanto

Pengantar

Perjalanan RUU Kepalangmerahan telah memasuki tahun ke 9 sejak diusulkan oleh DPR RI di tahun 2004 yang lalu. Satu proses yang sangat panjang untuk menetapkan satu lambang perhimpunan nasional bagi satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan 1970, khususnya Protokol Tambahan 2005 tentang lambang perhimpunan nasional. Entah berapa banyak dana yang telah dikeluarkan oleh pemerintah yang bersumber dari pajak dan dana PMI yang juga sebagian besar dari rakyat Indonesia. Telah banyak tulisan dan komentar di berbagai media : cetak konvensional maupun online, media jurnalisme warga (semisal Kompasiana.com) serta media sosial umumnya (Facebook, Twitter, Blog dan sebagainya). Terakhir muncul di tulisan blog Ketua DPR RI, Dr. Marzuki Alie di sini yang menulis banyak hal seputar perjalanan beliau di dalam aktivitas lembaga kemanusiaan PMI, khususnya buah tangan setelah berinteksi dengan Relawan PMI dalam Sarasehan RUU Kepalangmerahan pada Temu Karya Nasional V 2013 Relawan PMI di Selorejo, Kabupaten Malang, Jawa Timur akhir Juni yang lalu.

Analisis berita seputar polemik lambang kepalangmerahan adalah tema besar bagi organisasi (Perhimpunan Nasional) Palang Merah Indonesia (PMI) yang pada 17 September 2013 akan berusia 68 tahun. Sama dengan usia Proklamasi Kemerdekaan RI, hanya beda satu bulan. Hal menarik dari perjalanan panjang pembahasan itu bukan soal inefektivitas waktu yang hampir dipastikan berdampak pada pembengkakan anggaran baik di DPR, Pemerintah maupun PMI. Tetapi juga tentang ketidak-jelasan hasil pembahasan yang membuat banyak pihak, terutama relawan PMI bertambah gundah dan geram. Tulisan yang akan disajikan secara berseri ini diharapkan dapat mendorong DPR dan Pemerintah segera menuntaskan RUU tersebut.

1. Tulisan Ketua PMI Pusat, M. Jusuf Kalla di Polemik Seputar Lambang Palang Merah Kompasiana. 

Baru baru ini saya ditemui oleh seorang kawan lama, dia  cukup fanatik dengan agamanya. tapi tidak radikal tentunya. Dia menemui saya hanya karena persoalan dia merasa terganggu dengan Logo PMI, yang nota bene menggunakan lambang palang yang dia asosiakan ke agama tertentu. Dan meminta lambang PMI untuk di Indonesia diganti dengan lambang apa saja asal jangan lambang Palang.
Saya bilang ke dia wah anda salah besar kalau mengatakan Palang itu milik agama tertentu.  Bahwa palang yang menyimbolkan agama tertentu itu kakinya lebih panjang, kalau PMI tidak, semuanya sama panjang. Ia sama dengan symbol penjumlahan ,di dalam ilmu Mate-Matika . Tentunya kita semua tahu mengenai asal-usul ilmu mate-matika, dia  berasal dari pelajaran Al-Jabar yang dikembangkan oleh ilmuwan islam, yang bernama al-quesi, jadi itu sebenarnya lambang palang yang anda protes, yang menciptakan itu orang yang beragama islam.
Dan saya katakan juga kepada teman saya itu, kalau anda tidak suka PMI menggunakan lambang itu tidak masalah nanti kita ganti. Dengan syarat symbol (+) di tombol HP anda juga hilangkan ganti dengan gambar apa saja, dan anak anda yang masih sekolah kalau dia belajar penjumlahan larang dia pakai symbol (+) untuk menjumlahkan, suruh dia ganti pakai symbol yang lain.
Karena yang kasi symbol itu bukan pengurus PMI tapi itu sudah diberikan oleh Negara, kalau Negara mau rubah silahkan, kita akan ikut saja, kita tidak terlalu mempersoalkan lambang itu, toh semenjak zaman pak Hatta jadi pengurus PMI dia juga pakai lambang itu juga.
Selain itu kalau lambang tersebut dirubah, yang jadi susah tentara, apa hubungannya dengan tentara, ? karena konvensi mengatakan ketika terjadi perang, maka orang yang menggunakan tanda Palang Merah, itu tidak boleh ditembak. Kalau kita ganti maka semua tenaga medik dalam perang bisa kena tembak nanti. Jadi bikin persoalan lagi kita ini, hanya gara-gara masalah lambang. Masa lambang harus dipersoalkan ? itukan tidak ada hubungannya dengan amal ibadah. Kita kan “fastabikhul khairat” saja.
Jadi itulah selentingan yang bukan hanya kawan saya saja yang persoalkan tapi banyak juga orang-orang di luar sana yang terlalu mempersoalkan penggunaan lambang tersebut. seolah-olah PMI itu merupakan gerakan “misionaris” agama tertentu, saya selalu katakan, Palang Merah itu gerakan kemanusiaan yang lintas batas agama, suku, dan bangsa. Lalu mengapa ada muncul Bulan sabit Merah? apakah dia gerakan counter Misionaris?
Jadi sejarahnya seperti ini, kenapa ada Palang Merah dan kenapa ada Bulan Sabit Merah ? Lambang Palang Merah sendiri sebenarnya diadopsi dari bendera Swiss, untuk menghormati Henry Dunant sang Pendiri Palang Merah yang berkebangsaan Swiis, sekaligus sebagai bentuk penghormatan terhadap negara Swiss sebagai tempat konvensi kesepakatan penggunaan tanda untuk tenaga sukarela di Medan Perang.
Pada zaman dahulu setiap negara memiliki tanda yang berbeda beda untuk tenaga medis di medang perang.  seperti Austria memakai bendera putih, perancis merah, dan spanyol Kuning. Yang jadi masalah pihak lawan kadang tidak mengenali tanda dari tenaga medis sehingga banyak sukarelawan medis yang jadi target sasaran tentara lawan.
Sehingga akhirnya muncullah pemikiran untuk menggunakan lambang yang seragam bagi setiap tenaga medis yang ada di medan perang.  Akhirnya pada tahun 1863 pada konferensi internasional diputuskan Lambang Palang Merah di atas dasar putih menjadi simbol bagi para sukarela medis. Lambang tersebut merupakan kebalikan dari bendera nasional Swiss (palang putih diatas dasar merah) yang memfasilitasi berlangsungnya Konferensi Internasional saat itu. Pada tahun 1864, Lambang Palang Merah di atas dasar putih secara resmi diakui sebagai tanda pengenal pelayanan medis angkatan bersenjata.
Pada dasarnya penggunaan lambang Palang Merah tidaklah dimaksudkan untuk menampilkan simbol kelompok tertentu, itu hanya karena konferensi untuk menentukan tanda bagi tenaga sukarela Medis pada saat perang diadakan di Swiss jadi mungkin peserta waktu itu mencari gampangnya ajah, yah sudah dibaliklah bendera Swiss untuk dijadikan tanda bagi mereka yang menjadi sukarela medis di medan perang.
Namun demikian tidak setiap negara bisa memahami penggunaan tanda tersebut, ini terjadi pada tahun  1876 saat Balkan dilanda perang, sejumlah tenaga sukarela medis ditangkap dan dibunuh oleh Kerajaan Ottoman (saat ini Turki) semata-mata karena mereka memakai ban lengan dengan gambar Palang Merah. Pihak kerajaan  beralasan bahwa tentara Turki yang rata-rata beragama Islam sensitif terhadap Lambang berbentuk palang tersebut sehingga mengira mereka juga musuh (mungkin karena Turki masih ada trauma dengan perang salib mengingat tentara Eropa waktu itu menggunakan lambang palang yang kakinya lebih panjang di dada mereka sewaktu melakukan invasi ke Timur Tengah).
Dengan begitu muncullah gagasan untuk tanda bagi pekerja kemanusiaan di medan perang tidak hanya menggunakan lambang Palang merah, tetapi juga menggunakan Lambang yang berbeda yaitu Bulan Sabit Merah. Bulan sabit Merah ini disahkan  pada Konferensi Internasional tahun 1929 secara resmi diadopsi sebagai Lambang yang diakui dalam Konvensi. Jadi itulah awal mula mengapa ada Palang Merah, mengapa ada Bulan sabit merah, bukan karena faktor agama tapi karena masalah salah paham saja.

Posted in , , , , , , , , | Leave a comment

Peran Staf Putri Tentara Pelajar

Foto alm. Ibu Atiatoen saat jadi guru di Rembang 1952
Keterlibatan para pelajar dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia dan kegiatan kepalang-merahan telah dimulai sejak berdirinya PMI pada 17 September 1945. Terutama dalam membantu korban Pertempuran 10 November 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan di Rumah Sakit Darurat PMI di lingkungan asrama Bruderan, Mojoagung, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Menjadi bagian dari tim kesehatan IPI Bagian Pertahanan (Tentara Pelajar), MPP Yogyakarta menugaskan Atiatoen dan Koes Hartini yang telah dibekali ilmu kepalang-merahan ketika mengikuti latihan dasar kemiliteran yang diperdalam di RS Bethesda dibawah bimbingan para dokter yang bertugas di rumah sakit itu.

Tentara Pelajar adalah nama sebuah kesatuan yang dibentuk dari dan oleh para pelajar untuk mewujudkan bakti bagi Ibu Pertiwi. Mereka merupakan bagian integral Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) yang berdiri di tengah gejolak perjuangan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Atas kesadaran sendiri, sebagian anggota IPI mendirikan Bagian Pertahanan yang kemudian berevolusi mengikuti perkembangan keadaan saat itu, khususnya di Yogyakarta yang menjadi ibukota sementara Republik Indonesia. Sampai akhirnya mereka masuk ke jajaran TNI sebagai Brigade XVII yang berstatus tentara cadangan. Meski begitu, sebagian besar anggota TP tetap membawa suasana khas yakni sebagai pelajar dan tentara sekaligus ketika negara memanggil.

Markas Pusat (Tentara) Pelajar atau MPP di Yogyakarta memiliki Staf Putri yang dipimpin oleh Sri Daruni, pelajar SMA B Kotabaru. Mbak Daruni, begitu panggilan yang biasa diberikan kepada beliau, sebagaimana dituturkan oleh Atiatoen yang saat itu selaku anggota staf dan siswi di Sekolah Guru Putri (SGP) adalah “kanca wingking” – nya anggota TP laki-laki yang berlaga di garis depan. Ada dua hal yang biasa mereka urus yakni dapur umum dan kepalang-merahan. Untuk angkatan pertama dan kedua, anggota staf putri diberikan pelatihan dasar kemiliteran seperti baris berbaris, mengenal dan menggunakan beberapa senjata serta bela diri militer. Sesuai ingatan Atiatoen, ada beberapa nama siswi SGP yang pernah mengikuti latihan dasar kemiliteran di Militair Academie (MA) Kotabaru Jogjakarta yaitu Retno Sriningsih, Retno Triningsih, Oemijatoen dan Koeshartini yang pernah bersamanya ditugaskan di rumah sakit darurat PMI Mojoagung Mojokerto Jawa Timur bersama teman-teman dari Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) membantu perawatan korban pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Alm. Ibu Atiatoen bersama teman2 dan ibu kos di Rembang 1951

Demikian pula penugasan di Markas Darurat Tentara Pelajar di lingkungan Gereja Kristen Jawa Jalan Stasiun Kebumen pada Perang Kemerdekaan I tahun 1947. Markas yang dipimpin Moedojo (mahasiswa HESP di sekolah tinggi hukum yang sekarang bernama Universitas Gadjahmada) dan wakilnya Tjiptardjo yang pelajar Sekolah Menengah Teknik (STM Jetis Yogyakarta). Kantor markas berada di sebuah rumah di kanan gereja yang sekarang dipakai untuk kantor pemasaran produk rangka baja. Sementara itu, rumah dinas kapandhitan yang saat itu dikelola bapak Pendeta Reksodihardjo digunakan sebagai asrama di bagian aula dan dapur umum di bangunan sayapnya.

Monumen Pena..saksi bisu Asrama Markas Darurat Tentara Pelajar pada
Perang Kemerdekaan I di Front Barat (tampak di belakang monumen) dan 
di sayap kiri adalah bekas dapur umum)

Secara kebetulan, keluarga bapak Reksodihardjo memiliki kedekatan hubungan dengan keluarga Atiatoen. Selain menjadi pelanggan beras yang dijual oleh almarhumah ibu kandung dan mesin jahit yang disediakan oleh ayahnya, Moch. Djadjuli, dua kakak kandung Atiatoen yakni Affandi yang akrab disapa Pandi Gondhek dan Achmad Dimjatie (letnan TRI, penguasa militer di Front Barat) adalah teman bermain putra bapak pendeta Reksodihardjo yang bernama Agustinus. Karena itu, penugasan Atiatoen di markas darurat TP ini mendapat dukungan penuh dari keluarga pendeta Reksodihardjo. Di antaranya adalah mempekerjakan tukang masak keluarga bernama Fathonah dan seorang tukang kebun gereja yang ditugaskan menanak nasi, membersihkan lingkungan yang dipakai asrama dan dapur serta mencari kayu bakar.

Selama menjalankan tugas di markas darurat ini, Atiatoen dibantu oleh beberapa teman sesama siswi SGP asal Kebumen yaitu Rasini dan Oemijaton (adik kandung Martono, Komandan Detasemen III TP Jogja, mantan Menteri Transmigrasi), Oemi Wasilah (mantan Kepala SD N 5 Kebumen) dan Hartini yang rumahnya dekat gereja. Ia bertugas sepanjang masa libur kenaikan kelas sekitar pertengahan Juli – pertegahan September 1947. Sementara itu, markas darurat telah dioperasikan sekitar tiga minggu sebelumnya.
 Monumen Palagan Sidobunder di Kec. Puring

Menjelang akhir Agustus 1947, terjadi pengerahan pasukan TP secara besar-besaran ke arah Barat kota Kebumen membantu pemusatan kekuatan tempur pasukan TRI yang dipimpin oleh Letnan Achmad Dimjatie di sekitar wilayah Gombong Selatan (Kuwarasan, Puring dan Buayan). Selain dari Jogja yang dikerahkan dari Markas Pusat di Tugu Kulon, pasukan TP diperkuat oleh TGP, TP Solo, SA/CSA, TRIP dan TP Purworejo. Tentu saja dari markas TP Kebumen yang sekarang menjadi SMP Muhammadiyah 1 saat itu dipimpin Sadar, Samijo dan David Sulistijanto juga mengerahkan pasukannya. Kebanyakan dari mereka adalah para siswa Sekolah Teknik (sekarang SMP N 7 Kebumen) dari berbagai daerah. Tidak hanya sekitar Kedu dan Banyumas. Tapi banyak juga yang berasal dari luar Pulau Jawa seperti Flores dan Ambon.


Menurut penuturan Atiatoen, seminggu menjelang pertempuran besar di sekitar Sidobunder, hampir setiap hari Markas Pusat TP di Jogja mengirim dua sampai tiga gerbong pasukan. Ada yang berasal dari Pelajar Kalimantan, Pelajar Sulawesi (PERPIS) dan pelajar dari berbagai daerah di Indonesia (kecuali Papua) yang tengah menjalani studi di Yogyakarta.  Dari banyak anggota TP yang singgah di asrama dan mengambil jatah makan di dapur umum, ada tiga nama yang sangat diingatnya. Pertama, seorang yang disebut Lowo. Ia diingat karena sikapnya yang urakan dan suka mengganggu teman-teman putrinya di dapur umum. Alex Rumambi yang berperawakan pendek dan pendiam. Tapi disegani oleh rekan-rekannya. Dan satu lagi adalah seorang pelajar Kalimantan yang membantu dirinya memetik nangka di halaman belakang rumahnya untuk persediaan sayur, menu malam nanti. Sampai sekarang, ia tak mengenal nama pelajar Kalimantan ini. Dari keterangan kakak kandungnya, Pandi Gondhek, ia bernama Linus. Cerita selengkapnya peristiwa Palagan Sidobunder dapat dibaca di sini dan juga di sini

Posted in , , , , , , , , | Leave a comment