Suasana pada acara Stand Up Volunteer 2 di sela giat TKN V |
Oleh: Toto Karyanto
Dalam satu dasawarsa terakhir,
sebutan relawan sering muncul dalam berbagai aktivitas politik terutama
menjelang pemilihan umum. Berbeda dari posisi di PMI, relawan politik boleh
dibilang sebagai pelengkap penderita. Mereka juga sering menjadi obyek pencitraan diri politisi yang pada akhirnya justru diposisikan
sebagai korban ambisi politik entah berlabel kandidat presiden gubernur, bupati
atau kepala desa. Kecenderungan ini terus berulang sampai kemudian muncul
kesadaran bahwa para relawan politik tak lebih dari satu bentuk penjajahan
berselubung demokratisasi. Tetap ada (bahkan cukup banyak) orang yang bersedia
diperlakukan demikian karena termotivasi akan mendapat imbal jasa entah berupa materi, jabatan atau pekerjaan
tertentu jika para kandidat yang dibelanya menduduki posisi yang diincarnya.
Berbeda dengan militansi relawan
organisasi kemanusiaan di PMI misalnya. Mereka datang dengan satu kesadaran
untuk menolong sesama sebagai perwujudan nilai kemanusiaan universal. Kesadaran
ini mendorong upaya pembaruan pengetahuan dan ketrampilan praktis yang diperlukan
untuk menjawab masalah-masalah aktual secara terus menerus baik secara formal
melalui pengembangan kapasitas dalam beragam bentuk pelatihan teknis yang
diselenggarakan oleh PMI di berbagai tingkatan. Maupun melalui cara-cara
informal, berbagi informasi, pengetahuan dan ketrampilan antar relawan.
Kehadiran media sosial berbasis
internet seperti Facebook, Twitter, Blog dan sebagainya adalah media yang cukup
efektif untuk melakukan proses pembaruan di atas. Bahkan. Media sosial ini
adalah sarana yang sangat efektif untuk melontarkan gagasan-gagasan baru yang
segar dan visioner. Kesadaran akan pentingnya pembaruan yang berkelanjutan ini
mengharuskan para relawan berpola pikir lepas dari keterkungkungan formalitas,
pakem dan sejenisnya. Istilah umumnya adalah out of box. Pola pikir
seperti ini membuat respon relawan berdedikasi terhadap situasi sulit dan
darurat lebih kuat dan efektif. Dan ini telah dibuktikan di berbagai situasi
bencana alam maupun kemanusiaan oleh banyak relawan PMI, PNS (palang merah/
bulan sabit merah negara sahabat) maupun berbagai organisasi kemanusiaan dunia
lainnya.
Sebenarnya, dalam organisasi
kemanusiaan yang tergabung dalam Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah tidak dikenal istilah militan karena tidak sesuai dengan tujuh
prinsip dasar yang menjadi pijakan utama segala aktivitas organisasional.
Istilah berdedikasi lebih pas dan mewakili. Berdedikasi bukan kepada personalia
atau orang-orang yang ada di dalam (sebut saja pengurus atau staf), tetapi
lebih pada tujuan, misi dan visi organisasi. Bahkan, kalaupun seorang relawan
tidak suka dengan para personalia organisasi di satu tempat, ia akan mencari di
tempat lain yang bersedia memfasilitasinya. Atau justru dicari oleh wilayah
tertentu.
Dalam banyak hal, relawan
kemanusiaan berbeda dengan relawan politisi. Selain perbedaan peran, kedudukan
dan orientasinya, relawan kemanusiaan cenderung lebih mengedepankan cara
berfikir positif dan inovatif. Sementara itu, relawan politisi meski memiliki
militansi biasanya bersikap eksklusif dan overprotective terhadap pribadi sang
politisi ketimbang berupaya maksimal mewujudkan visi dan misinya. Tapi kecenderungan
inipun kausistis dan sangat sementara.
Memang tidak sebanding untuk
menyandingkan keduanya. Karena banyak perbedaan mendasar yang melatarbelakangi.
Mulai dari orientasi pribadi, kesadaran diri, cara berpikir, sikap menghadapi
masalah dan sebagainya. Bagaimanapun panjang jarak perbedaan itu, sebagai umat
manusia, keduanya punya kesamaan yakni afiliatif. Satu berafiliasi pada tujuan,
yang lain pada personal atau figur seseorang. Dari sekian banyak perbedaan,
relawan kemanusiaan unggul dalam hal mental dan moral.
Tanpa mentalitas prima, seorang
relawan kemanusiaan akan segera kehilangan segala kemampuan dan kendali diri
ketika harus berhadapan dengan satu pilihan yang menyangkut nyawa manusia yakni
mengutamakan korban hidup dan yang terparah kondisinya. Karena itu ada jargon “
tak pernah takut mati, tapi kuatir akan kelaparan”. Di sini, latihan kemampuan
bertahan hidup di segala medan seperti dalam kemiliteran diajarkan dengan versi
dan pendekatan yang berbeda. Juga beberapa pengetahuan tentang senjata pembunuh
tanpa pernah berusaha menggunakannya. Dengan kata lain, relawan kemanusiaan di
PMI juga harus tahu cara kerja senjata pembunuh dengan tujuan untuk melumpuhkan
sifat mematikannya.
Berita tewasnya seorang relawan PMI yang
tengah menjalankan tugas kemanusiaan di daerah konflik, Papua, akhir Juli 2013
yang lalu diangkat dalam beragam versi. Ketika dilansir pertama kali oleh media
lokal Bintang Papua disebutkan bahwa menurut penuturan Ketua Palang
Merah Indonesia (PMI) Papua, Drs.Johanis
Safkaur, M.M., mengatakan, 3 tenaga medis yang tertembak di Puncak Senyum,
Kabupaten Puncak Jaya adalah anggota Relawan Palang Merah Indonesia (PMI)
Provinsi Papua Wilayah Puncak Jaya. Hal ini dikuatkan oleh Sekretaris Jendral
PMI Pusat, Budi Adiputro, yang mengutuk keras tindakan yang dinilai melanggar
Konvensi Jenewa 1864 dan 1949 tersebut saat
melakukan pertemuan terbatas dengan Polri dan TNI. Sementara itu,
dalam hal penyebutan nama, ada yang menyebut nama Erik Yoman sebagaimana
dilansir Kompas.com atau Eri Wonda versi
Tempo.co dan news.okezone.com .
Ketidakjelasan
pemberitaan di atas nampaknya menguatkan asumsi yang berkembang di lingkungan
PMI, khususnya para relawan yang mengawal perjalanan pembahasan RUU Lambang
Palang Merah yang berlangsung lebih dari 7 tahun (2005 - 2012) kemudian
berganti nama menjadi RUU Kepalangmerahan (2012 - 27 Juni 2013) memang tidak dilakukan dengan
bersungguh-sungguh baik oleh DPR selaku pengusul maupun Pemerintah RI sebagaimana
dijelaskan oleh Ketua
DPR RI-Dr. Mazuki Alie . Ada yang berseloroh, karena menyangkut
kepentingan PMI yang nota benernya adalah "tak beruang" maka proses
pembahasannya seihlasnya alias kalau ada sisa waktu. Tapi ada juga yang
menyikapi suasana ini sebagai bentuk hilangnya
kepekaan nurani kemanusiaan para
anggota Dewan yang akan menjadi lebih terhormat jika mereka memiliki dan
menggunakannya untuk melihat dampak penundaan itu.
Relawan PMI yang menangkap gelagat buruk ini kemudian berupaya mencari tahu sebab-sebab teknisnya dari PMI Pusat. Di sisi lain, ada sebagian relawan melakukan analisis politik terutama untuk mengetahui penyempitan arus isu melalui kajian berita media massa dan khususnya media sosial. Kenapa media sosial semacam Facebook, Twitter, Blog dan lain-lain menjadi perhatian utama? Setiap kali relawan PMI yang tengah melakukan kajian politik ini, semakin banyak ditemukan fakta bahwa pihak atau partai politik yang tidak suka lambang palang merah dan PMI sedang gencar memanfaatkan media sosial untuk menggiring opini publik dalam proses pencitraan dirinya sebagai partai politik papan atas. Bahkan dengan cara-cara yang sangat bertentangan dengan hakikat nilai yang mereka usung sebagai bahan dasar kampanye pada proses pencitraan itu. Gusti Allah boten sare ! Allah itu Maha Adil dan Kuasa atas segala sesuai di alam semesta.
Munculnya kasus impor daging sapi yang menyeret presiden Partai Keadilan Sejahtera, Lutfi Hasan Ishak sebagai bagian dari pelaku tindak pindana korupsi yang disangkakan kepada Achmad Fatonah yang kemudian diketahui publik sebagai playboy tetap dibela dengan beragam cara melalui media sosial dengan intensitas sangat luar biasa. Ada yang memakai identitas terang, tapi sebagian besar tanpa nama atau memakai nama lain (nickname). Satu diantaranya nampak pada tulisan saya si centil yang suka menohok. Dan juga yang masih ringan menyoal lambang PMI . Terakhir muncul hal serupa di grup facebook TKRNasional yang kebanyakan anggotanya adalah Relawan PMI ketika ada debat sengit pengguna akun Moh. Kafrawi yang memakai foto profil anggota Pasukan Khusus TNI AD (Kopassus) dan saya menanggapi kiriman dan tanggapan dua pemilik akun yang saya kenal dekat pribadinya. Inilah satu kecil bukti perbedaan mendasar integritas dan dedikasi Relawan PMI dan relawan politik atau yang lainnya.
Orientasi politik Relawan PMI adalah pengamalan ilmu pengetahuan, sedangkan relawan politik pada figur politisi atau partai politik tertentu. Sementara itu, dedikasi Relawan PMI adalah pada tujuan visi kemanusiaan universal yang sebenarnya merupakan pengeja-wantahan dari ajaran dan tujuan Islam yang memberi kebaikan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta (rahmatan lil 'alamin) ini. Dan ini juga yang menjadi roh Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Relawan PMI yang berdedikasi menjaga roh tersebut dengan segenap jiwa dan raga.
H. Tutur Priyanto, Charles Taroreh, Dadi Kusmayadi dan Heri Yoman alias Eri Yoman atau
siapapun nama asli para Relawan PMI yang gugur saat menjalankan tugas
kemanusiaan di Puncak Jaya, Papua akhir Juli 2013 adalah catatan sejarah bagi
PMI dan Bangsa Indonesia. Juga sejumlah korban perang kemerdekaan yang diberi
tanda khusus (prasasti) di Malang. Boleh jadi ada nama dan peristiwa lain yang
terlewatkan dalam catatan sejarah. Meski organisasi PMI diguncang dari luar
melalui banyak hal, khususnya proses
politik sektarian pembahasan RUU Kepalangmerahan dan kepicikan
sejumlah orang yang mendapat amanah menjalankan organisasi PMI di berbagai
tingkatan, di manapun dan dalam kesempatan apapun, Relawan
PMI yang berdedikasi tinggi pada tujuan, misi dan visi Gerakan Internasional
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah akan tetap dan selalu ada. Inilah yang
membedakan kadar dedikasi Relawan PMI dengan relawan lainnya.
Tulisan ini juga dimuat di Catatan Pribadi
Tulisan ini juga dimuat di Catatan Pribadi