Foto alm. Ibu Atiatoen saat jadi guru di Rembang 1952
Keterlibatan para pelajar dalam
perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia dan kegiatan kepalang-merahan telah dimulai sejak berdirinya PMI pada
17 September 1945. Terutama dalam membantu korban Pertempuran 10 November 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari
Pahlawan di Rumah Sakit Darurat PMI di lingkungan asrama Bruderan,
Mojoagung, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Menjadi bagian dari tim kesehatan
IPI Bagian Pertahanan (Tentara Pelajar), MPP Yogyakarta menugaskan Atiatoen
dan Koes Hartini yang telah dibekali ilmu kepalang-merahan
ketika mengikuti latihan dasar
kemiliteran yang diperdalam di RS Bethesda dibawah bimbingan para dokter
yang bertugas di rumah sakit itu.
Tentara Pelajar adalah nama
sebuah kesatuan yang dibentuk dari dan oleh para pelajar untuk mewujudkan bakti
bagi Ibu Pertiwi. Mereka merupakan bagian integral Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) yang berdiri di tengah gejolak
perjuangan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Atas kesadaran
sendiri, sebagian anggota IPI mendirikan Bagian
Pertahanan yang kemudian berevolusi mengikuti perkembangan keadaan saat
itu, khususnya di Yogyakarta yang menjadi ibukota sementara Republik Indonesia.
Sampai akhirnya mereka masuk ke jajaran TNI sebagai Brigade XVII yang berstatus
tentara cadangan. Meski begitu, sebagian besar anggota TP tetap membawa suasana
khas yakni sebagai pelajar dan tentara sekaligus ketika negara memanggil.
Markas Pusat (Tentara) Pelajar atau MPP di Yogyakarta memiliki Staf Putri yang dipimpin oleh Sri Daruni,
pelajar SMA B Kotabaru. Mbak Daruni, begitu panggilan yang biasa diberikan
kepada beliau, sebagaimana dituturkan oleh Atiatoen yang saat itu selaku
anggota staf dan siswi di Sekolah Guru
Putri (SGP) adalah “kanca wingking”
– nya anggota TP laki-laki yang berlaga di garis depan. Ada dua hal yang biasa
mereka urus yakni dapur umum dan kepalang-merahan. Untuk angkatan pertama dan
kedua, anggota staf putri diberikan pelatihan dasar kemiliteran seperti baris
berbaris, mengenal dan menggunakan beberapa senjata serta bela diri militer.
Sesuai ingatan Atiatoen, ada beberapa nama siswi SGP yang pernah mengikuti
latihan dasar kemiliteran di Militair
Academie (MA) Kotabaru Jogjakarta yaitu Retno Sriningsih, Retno
Triningsih, Oemijatoen dan Koeshartini yang pernah bersamanya ditugaskan di
rumah sakit darurat PMI Mojoagung Mojokerto Jawa Timur bersama teman-teman dari
Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) membantu perawatan korban pertempuran
10 November 1945 di Surabaya.
Alm. Ibu Atiatoen bersama teman2 dan ibu kos di Rembang 1951
Demikian pula penugasan di Markas Darurat Tentara Pelajar
di lingkungan Gereja Kristen Jawa Jalan Stasiun Kebumen pada Perang Kemerdekaan I tahun 1947.
Markas yang dipimpin Moedojo
(mahasiswa HESP di sekolah tinggi hukum yang sekarang bernama Universitas
Gadjahmada) dan wakilnya Tjiptardjo
yang pelajar Sekolah Menengah Teknik (STM Jetis Yogyakarta). Kantor markas berada di sebuah rumah di kanan
gereja yang sekarang dipakai untuk kantor pemasaran produk rangka baja.
Sementara itu, rumah dinas kapandhitan
yang saat itu dikelola bapak Pendeta Reksodihardjo digunakan sebagai asrama di
bagian aula dan dapur umum di bangunan sayapnya.
Monumen Pena..saksi bisu Asrama Markas Darurat Tentara Pelajar pada
Perang Kemerdekaan I di Front Barat (tampak di belakang monumen) dan
di sayap kiri adalah bekas dapur umum)
Secara kebetulan, keluarga bapak Reksodihardjo
memiliki kedekatan hubungan dengan keluarga Atiatoen. Selain menjadi pelanggan beras yang dijual oleh
almarhumah ibu kandung dan mesin jahit yang disediakan oleh ayahnya, Moch. Djadjuli, dua kakak kandung
Atiatoen yakni Affandi yang akrab disapa Pandi
Gondhek dan Achmad Dimjatie (letnan TRI, penguasa militer di Front Barat)
adalah teman bermain putra bapak pendeta Reksodihardjo yang bernama Agustinus. Karena itu, penugasan
Atiatoen di markas darurat TP ini mendapat dukungan penuh dari keluarga pendeta
Reksodihardjo. Di antaranya adalah mempekerjakan tukang masak keluarga bernama Fathonah dan seorang tukang kebun gereja
yang ditugaskan menanak nasi, membersihkan lingkungan yang dipakai asrama dan
dapur serta mencari kayu bakar.
Selama menjalankan tugas di markas darurat ini,
Atiatoen dibantu oleh beberapa teman sesama siswi SGP asal Kebumen yaitu Rasini
dan Oemijaton
(adik kandung Martono, Komandan Detasemen III TP Jogja, mantan Menteri
Transmigrasi), Oemi Wasilah (mantan Kepala SD N 5 Kebumen) dan Hartini yang rumahnya dekat gereja. Ia bertugas sepanjang
masa libur kenaikan kelas sekitar pertengahan Juli – pertegahan September 1947.
Sementara itu, markas darurat telah dioperasikan sekitar tiga minggu
sebelumnya.
Monumen Palagan Sidobunder di Kec. Puring
Menjelang akhir Agustus 1947, terjadi pengerahan
pasukan TP secara besar-besaran ke arah Barat kota Kebumen membantu pemusatan
kekuatan tempur pasukan TRI yang dipimpin oleh Letnan Achmad Dimjatie di
sekitar wilayah Gombong Selatan (Kuwarasan, Puring dan Buayan). Selain dari
Jogja yang dikerahkan dari Markas Pusat di Tugu Kulon, pasukan TP diperkuat
oleh TGP, TP Solo, SA/CSA, TRIP dan TP Purworejo. Tentu saja dari markas TP
Kebumen yang sekarang menjadi SMP Muhammadiyah 1 saat itu dipimpin Sadar,
Samijo dan David Sulistijanto juga mengerahkan pasukannya. Kebanyakan dari
mereka adalah para siswa Sekolah Teknik (sekarang SMP N 7 Kebumen) dari
berbagai daerah. Tidak hanya sekitar Kedu dan Banyumas. Tapi banyak juga yang
berasal dari luar Pulau Jawa seperti Flores dan Ambon.
Menurut penuturan Atiatoen, seminggu menjelang
pertempuran besar di sekitar Sidobunder, hampir setiap hari Markas Pusat TP di
Jogja mengirim dua sampai tiga gerbong pasukan. Ada yang berasal dari Pelajar
Kalimantan, Pelajar Sulawesi (PERPIS)
dan pelajar dari berbagai daerah di Indonesia (kecuali Papua) yang tengah
menjalani studi di Yogyakarta. Dari banyak anggota TP
yang singgah di asrama dan mengambil jatah makan di dapur umum, ada tiga nama
yang sangat diingatnya. Pertama, seorang yang disebut Lowo. Ia diingat karena
sikapnya yang urakan dan suka mengganggu teman-teman putrinya di dapur umum. Alex
Rumambi yang berperawakan pendek dan pendiam. Tapi disegani oleh
rekan-rekannya. Dan satu lagi adalah seorang pelajar Kalimantan yang membantu
dirinya memetik nangka di halaman belakang rumahnya untuk persediaan sayur,
menu malam nanti. Sampai sekarang, ia tak mengenal nama pelajar Kalimantan ini.
Dari keterangan kakak kandungnya, Pandi Gondhek, ia bernama Linus. Cerita selengkapnya peristiwa Palagan Sidobunder dapat
dibaca di sini dan juga di sini.