Archive for 2013

Mengawal Perjalanan Sejarah PMI - Bagian III

Siasana Markas PMI Kab, Bantul saat Operasi Tanggap Darurat Gempa DIY 27 Mei 2005

Ada korelasi positif antara gerakan Relawan PMI di masa perang kemerdekaan dan saat ini. Pertama, relawan PMI adalah kaum terpelajar yang memiliki jiwa kemanusiaan dan nasionalisme sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dari keberadaan relawan PMI dalam barisan pemuda/pemudi di jaman penjajahan Belanda maupun Jepang. Demikian pula ketika proklamasi dan masa-masa genting di awal usianya, Bangsa Indonesia harus bertahan hidup dari upaya penjajahan kembali oleh bangsa atau persekutuan bangsa asing. Relawan PMI bergabung dengan laskar-laskar perjuangan yang kemudian melebur jadi sebuah kekuatan besar dalam wadah Tentara Nasional Indonesia. Kedua, di masa damai, Relawan PMI adalah kekuatan utama dan roh organisasi. Bukan sekadar agen perubahan yang kemudian “tenggelam” dalam situasi status quo.

Di masa merebut dan menegakkan kemerdekaan tersebut, relawan yang lebih sering disebut sebagai anggota atau petugas PMI banyak dilakukan oleh kaum perempuan karena para lelaki menjadi kombatan (anggota pasukan tempur). Meski demikian, ada juga diantara anggota/petugas PMI di masa itu berperan ganda secara terbatas dalam tugas kemiliteran sebagai mata-mata, menggeledah penumpang kendaraan umum khususnya kereta api dan mengumpulkan senjata beserta pelurunya bagi laskar perjuangan yang diikutinya. Pada kesatuan Tentara Pelajar yang semua anggotanya dari para pelajar sekolah menengah seringkat SMP/SMA, petugas PMI masuk dalam jajaran Staf Khusus baik yang putri maupun putra. Satu diantaranya adalah Kunto Wibisono yang saat itu menempati markas kota Purworejo. Kelak, beliau dikenal sebagai dosen filsafat do Universitas Gadjahmada Yogyakarta dan Rektor Universitas 11 Maret Surakarta (UNS).

Pergerakan Relawan PMI di era reformasi yang menjadikan kekuatan politik (partai politik) jadi “panglima” mulai terasa gaungnya setelah sejumlah relawan menyebut diri sebagai RPI (Relawan Palangmerah Indonesia). Mereka sebenarnya adalah relawan yang sangat berdedikasi bagi organisasi PMI. Senantiasa menjaga sikap mandiri dan netral sesuai prinsip dasar Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang diadopsi sebagai core value PMI. Karena keteguhan sikap itu, sebagian Pengurus Pusat yang kemudian merembet ke daerah menganggapnya sebagai rombongan liar (romli). Meski demikian, justru merekalah yang ketika terjadi bencana besar semacam tsunami Aceh datang dan bertugas sebagai relawan kemanusiaan atas nama PMI lebih dulu ketimbang petugas resmi yang dikirim oleh daerah-daerah di bawah kordinasi Pengurus Pusat. Tiga orang diantaranya adalah inisiator atau pegiat keberadaan payung hukum bagi PMI sebagai perhimpunan nasional yang menerima mandat dari pemerintah Republik Indonesia serta Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Mereka adalah Kristobal (DKI Jakarta) dan Titus serta terakhir Sapta (DIY) telah mendului kembali ke pangkuan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dedikasi dan militansi Relawan PMI untuk #RUUKepalangmerahan tak pernah hilang meski dihalangi dengan beragam cara. Apalagi sejak Tragedi Trisakti 13-14 Mei 1998 yang menawaskan Elang Surya Lesmana dan kasusnya dipetieskan dalam bingkai “kasus politik” oleh para pejabat politik yang menguasai Negara di lembaga-lembaga formal baik pemerintah dan terutama di DPR RI. Kematian tragis Elang adalah tumbal atau korban sia-sia bagi Gerakan Reformasi yang hasilnya lebih banyak dinikmati oleh para petinggi di kedua lembaga formal tadi.

Kasus Elang menginspirasi munculnya RUU Lambang yang digagas oleh Pemerintah dari hasil kajian Pusat Studi Ilmu Hukum Universitas Trisakti Jakarta. Universitas tempat kejadian perkara tertembak matinya seorang Relawan PMI yang tengah bertugas sebagai relawan dan mengenakan atribut PMI. Kasus hukum yang dipolisisasi untuk kepentingan kekuasaan. Karena, kasus ini dapat menjadi insiden internasional jika terus diperkarakan lewat jalur hukum pidana sebagai pelanggaran HAM berat. Proses pembahasan RUU Lambang yang menghabiskan waktu secara sia-sia selama 12 tahun berakhir kebuntuan (dead lock) karena arogansi dan kepongahan orang-orang yang menikmati keuntungan dari para korban sia-sia seperti Elang.

Dalam situasi yang berbeda, #RUUKepalangmerahan yang digagas oleh DPR RI hampir mengalami “nasib” serupa dengan RUU Lambang jika Relawan PMI tidak melakukan gerakan terancana yang salah satu puncaknya adalah Aksi Relawan PMI se Indonesia di Gedung DPR RI pada Selasa, 3 Desember 2013. Sebenarnya, aksi ini bukan spontanitas sebagaimana sering dipahami oleh banyak Relawan PMI. Karena, begitu mendapat informasi bahwa RUU Lambang mengalami jalan buntu, “gerakan perlawanan” mulai digalang dengan aksi pengumpulan tanda tangan dukungan dari berbagai daerah seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Diawali di Kabupaten Bogor, aksi ini terus bergulir ke berbagai wilayah. Jawa Tengah dicatat sebagai provinsi yang paling pasif meski salah satu motor penggeraknya berasal dari provinsi yang di jaman Orde Baru dianggap sebagai “barometer politik nasional”.

Aksi 3 Desember 2013 adalah sebuah puncak kegeraman Relawan PMI terhadap perilaku sektarian dan sok kuasa dari para politisi di DPR RI yang ada di Panitia Khusus #RUUKepalangmerahan. Hal ini dengan sangat mudah dapat ditangkap dari berbagai sikap dan pernyataan mereka ketika beraudiensi dengan perwakilan Relawan PMI yang dikordinasi dari Relawan PMI Markas Kota Jakarta Selatan, Andi Gumilar dan Alvis Syamsi dari Jakarta Pusat. Keduanya adalah Relawan PMI yang sangat berdedikasi bagi organisasinya. Militansi keduanya menguat ketika bergabung di RPI dan dipelihara sampai sekarang. Bahkan, Andi Gumilar mampu mengkondisikan Markas Kota Jakarta Selatan sebagai pusat komando gerakan. Apalagi dengan dukungan penuh dari Pengurus inti, Ketua (Bapak Dadang Masduki) dan Sekretaris (Bang Moch. Adnan) yang dengan jelas dan tegas berani mengambil risiko apapun.

Catatan sejarah yang tak pernah akan kami lupakan adalah pertemuan 31 Oktober 2013 di Ruang Sekretaris PMI Kota Jakarta Selatan. Dengan gaya Betawi yang khas, hangat dan bersahabat, Bang Adnan mempertemukan kami : Fitria Sidiqah dan Deni Prasetyo (Markas Pusat PMI), Seto Handoko (Bantul), Mudji HS (Jakarta Pusat), Andi Gumilar (Jakarta Selatan) dan saya. Kedatangan kami adalah mengklarifikasi berita terakhir yang diposting oleh Fitria di grup social media Kampoeng Relawan. Selaku wakil PMI dalam setiap pembahasan dengan pemerintah maupun DPR RI, Fitria Sidiqah dengan sangat gamblang menjelaskan proses pembahasan #RUUKepalangmerahan yang potensial mengalami “nasib” sama dengan RUU Lambang. Karena rasa tanggung jawab kepada bangsa dan Negara serta mengingat telah banyak korban meninggal dari Relawan PMI ketika bertugas membawa nama organisasi. Sementara itu, Pengurus Pusat selaku penentu kebijakan nasional organisasi PMI tidak memberi dukungan maksimal atas upaya yang dilakukan dirinya bersama Kepala Markas Pusat. Nada bicara yang tersirat sangat tinggi, menandakan kekesalan hatinya atas sikap orang-orang yang semestinya mampu berbuat lebih dibanding relawan yang tak punya posisi tawar penting dalam pengambilan keputusan strategis organisasi dan sering diperlakukan diskriminatif ketika situasi dianggap “aman dan terkendali (business is usual)”. Di akhir pertemuan, kami bersepakat untuk mendiskusikan situasi aktual yang sebenarnya telah masuk tahap genting atau gawat darurat.

Posted in , , , , , | Leave a comment

Mengawal Perjalanan Sejarah PMI - Bagian II

Andi Gumilar di atas pembawa sound system ke gedung DPR RI 3 Des 2013

Satu diantara beberapa ciri utama manusia Indonesia sejatinya adalah cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan. Hal ini nampak sangat jelas ketika ada upaya dari manapun asalnya, dalam bungkus apapun atau dalam kondisi yang bagaimanapun akan "menjajah". Perlawanan maksimal pasti terjadi baik dengan cara konstruktif maupun destruktif. Itulah yang terjadi ketika Relawan PMI se Indonesia merasakan suasana "penjajahan" dalam proses pembahasan RUU Lambang yang merupakan  inisiatif Pemerintah dan kini berganti nama menjadi #RUUKepalangmerahan sebagai inisiatif DPR RI. 

Pameran kekuasaan politik yang dilakukan oleh beberapa partai di DPR menyebabkan kebuntuan pembahasan (dead lock) RUU Lambang. Banyak yang tahu tentang 7 Prinsip Dasar dalam Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Terutama Prinsip Kesatuan yang hanya membolehkan satu lambang untuk satu negara. Palang Merah atau Bulan Sabit Merah saja. Semua tanda atau lambang ini tidak ada kaitan sama sekali dengan agama apapun sebagaimana yang sering dimanipulasi untuk mengumpulkan dukungan dari satu faktor rentan psikologi massa di Indonesia yakni sentimen sektarian. Khususnya sekelompok orang yang senang memanfaatkan kerentanan ini untuk mereguk keuntungan bagi kelompoknya saja. Karena pada dasarnya Islam itu agama yang rahmatan lil 'alamin. Membawa kebaikan bagi seluruh alam semesta, bukan hanya bagi manusia. Apalagi hanya sekelompok orang yang menganut haluan politik secara kaku dan kasar. Tiada kelemahlembutan yang meneladani dari perilaku rosul Muhammad SAW. Apalagi menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Peregerakan Relawan PMI memang jauh dari kepentingan pribadi. Masuknya Andi Gumelar dan Alvis Syamsi dari DKI Jakarta sejak di Temu Karya Nasional V (TKN) Relawan PMI di Selorejo, Ngantang Kabupaten Malang Jawa Timur 23 - 28 Juni 2013 membuat suasana menjadi lebih dinamis. Keduanya adalah orang-orang yang berdedikasi dengan mengabdikan lebih dari setengah umurnya untuk PMI tanpa imbalan apapun. Bahkan sebaliknya, seperti kebanyakan relawan yang mendedikasikan dirinya untuk gerakan kemanusiaan melalui organisasi PMI, kami senantiasa menjaga kemandirian dan kenetralan. Karena hanya omong kosong jika bicara tentang kemanusiaan tapi melalaikan kedua hal yang sifatnya sangat pribadi itu. Itulah cara kami memaknai kesukarelaan yang sejatinya bersumber dari Allah ta'ala, Sang Maha Pencipta alam semesta ini. Di arena nasional itu, nama Kampoeng Relawan mendapat apresiasi cukup tinggi baik dari peserta dari seluruh penjuru tanah air Indonesia, Panitia maupun Pengurus Pusat (Markas Besar) PMI, terutama dari Ketua Bidang Relawan, Bapak H.M. Muas, SH pasca acara stand up volunteer 2 .






Momen nasional lima tahunan ini memang lebih banyak menghadirkan jembatan informasi dan komunikasi baru yang selama ini terkendala oleh banyak hal. Apalagi di basecamp Kampoeng Relawan yang berada di luar arena dan salah satu tujuan kehadirannya adalah mengakomodasi jiwa kesukarelaan para peninjau maupun penggembira dari berbagai wilayah di dalam dan luar Pulau Jawa.  Dua provinsi yakni Kalimantan Selatan dan Bali adalah rombongan besar dengan masing-masing membawa sekitar 20 personil Korps Sukarela (KSR) perguruan tinggi dan umum. 

Setiap momen adalah gerakan dan setiap gerakan akan punya sedikitnya satu tujuan. TKN V adalah monentum kebangkitan Relawan PMI dalam mengawal perjalanan organisasi PMI di masa depan agar lebih baik. Pengalaman buruk kegagalan pengesahan RUU Lambang yang diinisiasi Pemerintah RI adalah sebuah pelajaran berharga yang tidak boleh terjadi pada perjalanan #RUUKepalangmerahan yang diinisiasi oleh DPR RI. 
Relawan PMI bukan sekadar agen perubahan, tapi roh organisasi PMI sejak jaman pra kemerdekaan sampai sekarang. Ketika mendampingi para syuhada kemerdekaan Bangsa Indonesia, relawan PMI baik yang bergabung dalam laskar-laskar perjuangan merebut dan menegakkan kemerdekaan. Maupun yang membentuk kesatuan-kesatuan mandiri sebagai wujud nyata peran aktifnya bagi masa depan negeri jajahan yang bernama Indonesia saat ini. PMI adalah bagian dari sejarah nasional, bukan ormas atau LSM jejadian yang banyak  berdiri pasca reformasi dengan " mengambil untung" dari hasil jerih payah orang lain.   Jika ada yang salah dalam perjalanan PMI akhir- akhir ini, sebagian besar penyebabnya adalah perilaku sektarian orang-orang yang tidak dengan suka rela memelihara amanat organisasi. 
Relawan PMI merasa terpanggil untuk meluruskan kembali jalan-jalan organisasi yang telah dibelokkan untuk kepentingan lain di luar tujuan utama organisasi PMI selaku perhimpunan nasional yang memegang mandat sejarah kebangsaan Indonesia dan Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Sebagaimana telah dilakukan oleh para pendahulu di masa perjuangan merebut dan menegakkan kemerdekaan Bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agutus 1945 oleh Soekarno - Hatta, relawan PMI akan menjaga konsistensi peran dalam membantu pemerintah selaku penyelenggara negara RI. Kesetiaan relawan PMI hanya kepada tujuan organisasi. Bukan kepada orang seorang atau sekelompok orang yang ada di dalam organisasi. Apalagi jika keberadaannya menjadi benalu dan kontra produktif. Relawan PMI tak pernah takut mati! (bersambung).

Posted in , , , , , , | Leave a comment

Mengawal Perjalanan Sejarah PMI - Bagian I

Rapat persiapan Aksi pengesahan #RUUKepalangmerahan Relawan PMI se Indonesia 3 Des 2013


Relawan PMI adalah sekelompok manusia Indonesia yang memiliki beberapa penampilan. Di masa aman dan damai, tampilan yang mengemuka adalah sosok manusia penuh kasih dan sayang kepada sesama di bidang kesehatan umum semisal pertolongan pertama (dulu disebut PPPK, hanya bidang penanganan kecelakaan), perawatan keluarga dan lain-lain. Sementara itu, ketika menghadapi situasi khusus dalam penanganan bencana maupun konflik sosial atau bersenjata (perang), tampilannya akan berubah jadi manusia yang seolah sangat berani menyongsong maut. Menghampiri aliran lahar panas atau berjalan di antara hujan peluru adalah konsekuensi tugas evakuasi dan/atau menolong korban di lokasi bencana letusan gunung berapi atau medan perang. Itulah gambaran umum tentang Relawan PMI berdedikasi (istilah lain untuk menggantikan kata militan ). 

Mengikuti perjalanan teman-teman Relawan PMI bagi organisasinya bisa terjadi di segala suasana.  Pada suasana biasa mungkin tak banyak hal yang menarik perhatian. Tapi dalam suasana khusus, banyak sekali hal tak terduga muncul secara spontan dan membawa suasana kejiwaan yang khas dan mungkin akan menjadi kenangan seumur hidup. Itulah yang saya rasakan saat menerima berita dari rekan Relawan PMI dari Surabaya, dr. Seno Suharyo, meneruskan informasi dari anggota Tim Advokasi PMI Pusat untuk RUU Lambang: Fitria Sidiqah. Intinya, karena terjadi kebuntuan pembahasan (deadlock), RUU Lambang bagi PMI yang merupakan inisiatif Pemerintah RI tak dapat diteruskan proses legalisasinya di DPR RI pada akhir tahun 2011 atau awal 2012. 

Kemudian muncul #RUUKepalangmerahan yang merupakan inisiatif DPR RI pada akhir tahun 2012. Membaca situasi tersebut, kami berdiskusi cukup mendalam tentang berbagai kemungkinan yang dapat terjadi dalam proses yang dirasa akan mengalami situasi serupa dengan inisiatif Pemerintah RI sebagai tindak lanjut ratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang sebagian diantaranya telah menjadi dasar hukum formal. Yaitu UU No. 59 tahun 1968 tentang tanda pelindung bagi dinas kesehatan TNI dan Perhimpunan Nasional Palang Merah Indonesia. Sementara itu, yang berfungsi sebagai tanda pengenal justru belum ada. Akibatnya, banyak penyalahgunaan lambang oleh pihak-pihak yang tak kompeten tanpa sanksi hukum yang jelas dan tegas baik oleh pemerintah selaku penyelenggara negara maupun PMI yang merupakan perhimpunan nasional kepalangmerahan yang diakui pemerintah melalui Kepres No. 25 tahun 1950. 

Kesadaran yang muncul dari pemikiran jernih dan nurani yang dalam, mendorong kami segera menginisiasi gerakan dukungan tanda-tangan sebagai gerakan moral seluruh warga masyarakat Indonesia yang dimulai dari lingkungan internal organisasi PMI, khususnya relawan se Indonesia. Respon pertama muncul dari sdr. Abidin yang lebih dikenal sebagai Kang Bidin dari PMI Kabupaten Bogor dan diwujudkan sebelum peringatan HUT PMI ke 67, 15 September 2012. Gerakan ini menggelinding bak bola salju yang kian membesar ke segala penjuru. Anggota TSR PMI Kota Banjarmasin, Hafiludin (Hafil Dayak) menggelindingkan di wilayah Indonesia Timur. Terutama pulau Kalimantan dan sekitarnya. Gayung bersambut, di pulau Dewata digalang oleh Edi Suprayitno (KSR PMI Kabupaten Badung). Sementara itu, pulau Jawa yang menjadi sentral kegiatan justru merespon dengan sangat lambat. Mungkin terkendala faktor kultural, ewuh pekewuh (sungkan) yang tidak proporsional. 

Bola salju tadi terus membesar dan menuju satu titik bernama Silaturahmi Relawan PMI Media Sosial se Indonesia di Markas PMI Kabupaten Bantul, 24 - 26 Mei 2013. Hadir perwakilan relawan dari berbagai wilayah : Sumatera (diwakili Bengkulu dan Sumatera Selatan), Jawa (semua provinsi kecuali Banten), Bali dan Kalimantan.  Yang menarik dari pertemuan ini adalah munculnya kesadaran dan kesamaan persepsi tentang pentingnya Relawan PMI sebagai ujung tombak organisasi dalam mencapai tujuan PMI masa depan yang lebih baik. Beberapa relawan dari DKI yang juga menjadi staf di PMI Pusat memberi gambaran cukup gamblang tentang keadaan PMI yang tengah berjalan. Baik Deni Prasetyo, Rahmat maupun Dodi Kiting menguatkan gambaran tentang perlunya pembenahan secara signifikan agar PMI dapat berfungsi sesuai khitahnya selaku Perhimpunan Nasional Kepalangmerahan di Indonesia.
Diskusi yang lebih intensif pasca silaturahmi Bantul terus berlanjut di berbagai media sosial. Baik di grup-grup facebook, twitter, blog, chatting  maupun milis.  Ketika proses diskusi tengah memasuki tahap intensif, ada musibah kecil dari seseorang yang mengaku pemilik grup Voltage sebagai grup diskuksi utama di facebook. Akibatnya, sejumlah orang yang semula merasa cukup nyaman berdiskusi di grup ini kemudian menyatakan diri mundur secara beramai ramai kepada saya. Secara kebetulan, saya telah membuat sebuah grup bernama Reuni Relawan Gempa Bantul yang kemudian diubah menjadi Kampoeng Relawan. Penamaan itu bukan tanpa sengaja, tapi dengan kesadaran bahwa mengahadirkan suasana kampung yang aman, tenteram dan damai sangat diperlukan untuk  mengikat kembali anggota forum diskusi konstruktif bagi organisasi PMI yang lebih baik di masa depan. 

Para inisator yakni Tri Sugiarto dan Suhartadi (Semarang); Seno Suharyo, Rudi Winarto "Bom Doank" dan Ken Aditya (Surabaya), Musytarif Muhammad (Tulungagung); Edi Suprayitno (Doaku Palestina - Bali); Eko Legowo (Eko Legok - Sleman) dan Seto Handoko (Bantul); Iskandar Akbar (Rere Kampret ) dan  Bambang Widodo dari Palembang; Suwandi (Dang Adi - Bengkulu); Mashur Yadi (Bang Yadi Al Ghoribi - Pangkalpinang); Ahmad Misno (Bang Misno-Banjar); Muksinun (Kota Jogja); Deni P, Rahmat dan Dodi Kiting (Jakarta) serta saya mulai melanjutkan proses diskusi sersan dan intensif (konstruktif dan solutif) di grup Kampoeng Relawan sampai sekarang (bersambung).  

Posted in , , , , | Leave a comment

SAHKAN RUU KEPALANGMERAHAN SEKARANG JUGA!


oleh: Taufan K (Diseminator PMI)

Sesuai Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, di satu negara hanya diperbolehkan menggunakan satu tanda khusus sebagai lambang yang digunakan oleh dinas medis militer dan perhimpunan nasional suatu negara (palang merah atau bulan sabit merah).Indonesia telah memilih tanda khusus palang merah untuk dinas medis TNI dan menunjuk Perhimpunan Palang Merah Indonesia sebagai perhimpunan nasional yaitu organisasi yang melakukan pekerjaan berdasarkan Konvensi Jenewa 1949.

Palang Merah Indonesia didirikan pada tanggal 17 September 1945. Palang Merah Indonesia merupakan satu-satunya perhimpunan palang merah nasional (National Society) yang memiliki legitimasi berdasarkan Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Sebagai perhimpunan nasional palang merah, Palang Merah Indonesia bertugas untuk membantu pemerintah (auxiliary function) dengan tetap menjaga kemandiriannya serta mematuhi semua peraturan yang berlaku di Indonesia.
Mengacu pada banyaknya penyalahgunaan lambang palang merah dan bulan sabit merah oleh berbagai pihak tanpa ada upaya apapun untuk penertibannya, baik dari pemerintah maupun dari PMI sendiri sebagai perhimpunan nasional kepalangmerahan yang telah ditunjuk oleh pemerintah, maka dirasa perlu untuk mendorong pengesahan RUU Kepalangmerahan oleh DPR RI.


Mengapa kita perlu UU Kepalangmerahan?

  1. Karena UU Kepalangmerahan adalah kewajiban Negara sebagai konsekuensi logis pihak konvensi Jeneva Tahun 1949. Sebagaimana dimaklumi, Konvensi Jenewa tahun 1949 telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dengan Undang-Undang  no 59 tahun 1958. Dan lebih dari 100 Negara pihak (dari 191 Negara) telah memiliki UU Kepalangmerahan.
  2. PMI sebagai bagian dari Gerakan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Internasional wajib melakukan diseminasi Hukum Perikemanusiaan Internasional. PMI sebagai Perhimpunan Nasional yang ditunjuk Pemerintah berdasarkan Kepres No 25 tahun 1950 dan Kepres No 246 tahun 1963 mendukung Pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya.



Perjalanan RUU Kepalangmerahan di Indonesia

  1. RUU Lambang Palang Merah / Kepalangmerahan diserahkan secara resmi kepada DPR RI pada 12 Oktober 2005 melalui surat Presiden Nomor R.79/Pres/10/2005.
  2. Pembahasan 2006 – 2009 = Deadlock karena ada permintaan salah satu Fraksi agar menyertakan LSM Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) ke dalam UU berstatus sejajar dengan PMI sebagai Perhimpunan Nasional. 
Permintaan tersebut tidak dapat diakomodir Pemerintah karena :
  1. Konvensi Jenewa hanya cantumkan “dinas medis + rohaniwan angkatan peran dan anggota gerakan” yang berhat gunakan lambang Palang Merah/Bulan Sabit Merah.
  2. Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional hanya ijinkan 1 Negara untuk gunakan 1 lambang dan akui 1 Gerakan.
  3. Dan pengesahan RUU akhirnya harus terhenti karena masa tugas anggota DPR Periode tersebut berakhir.
  4. RUU Kepalangmerahan haru memulai babak baru di DPR Periode 2010-2015, dan sejak tahun 2012 telah disusun dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Sampai sejauh ini perjalanan RUU Kepalangmerahan masih berada di Panitia Khusus RUU Kepalangmerahan.


Urgensi pengesahan RUU Kepalangmerahan
  1. Undang-Undang Kepalangmerahan dengan fungsi-fungsi sebagaimana diterangkan diatas merupakan kebutuhan nasional baik pada situasi non-konflik ataupun pada situasi konflik. Undang-Undang Kepalangmerahan merupakan konsekuensi bagi Republik Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949.
  2. Undang-Undang Kepalangmerahan memberikan kepastian hukum bagi perhimpunan nasional baik pada tataran dalam negeri maupun dalam pergaulan internasional. Perlu disadari bahwa pengabaian hal ini dapat mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan lambang untuk tujuan-tujuan lain seperti untuk kepentingan politik, komersial dan berbagai kepentingan lain yang seharusnya dapat dicegah dengan adanya undang-undang.
  3. Perjalanan RUU Kepalangmerahan sampai detik ini tidak ada khabar yang menggembirakan (mungkin jalan ditempat), dan kedepan pada 2014 tentu DPR sudah disibukkan dengan kepentingannya seperti Revisi UU Pemilu, persiapan kampanye Parpol, pemilu ligislatif, pemilu Presiden dan berakhirnya masa bhakti DPR pada tahun 2015.
  4. Dan akankah RUU Kepalangmerahan kembali tidak terselesaikan oleh DPR Periode ini? Akankah pelanggaran dan penyalahgunaan Lambang Palang Merah tetap dibiarkan? Akankah aturan-aturan internasional terus dilanggar? Akankah kepentingan Negara dikalahkan oleh kepentingan kelompok atau golongan atas jaminan perlindungan pengguna lambang palang merah?



Untuk itu disini kita mengajak seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk mendorong para wakil rakyat kita di Panitia Khusus (Pansus) RUU Kepalangmerahan dan Ketua DPR RI untuk segera men sah kan RUU Kepalangmerahan menjadi Undang-Undang Kepalangmerahan. Silakan berikan dukungan Anda di sini.

Posted in , , , , , , | Leave a comment

Kado Ultah Negeriku - Nasionalisme Seorang Relawan PMI

Foto Status Nova Wijaya
Oleh Toto Karyanto

Jika kita bertanya kepada kebanyakan remaja Indonesia saat ini tentang mimpinya, mungkin akan diperoleh jawaban ingin menjadi orang kaya, terkenal dan berlimpah pujian seperti gambaran kehidupan para selebriti idolanya. Satu hal yang masih bisa dinilai wajar atau sebaliknya. Wajar karena mereka adalah pewarna utama kehidupan masa depan. Tanpa mimpi atau cita-cita, ibarat berjalan tanpa bekal peta dan rambu-rambu jalan. Melayang tak tentu arah, tabrak kiri-kanan, sruduk depan-belakang dan membahayakan diri serta orang lain. Dengan mimpi, bangsa Amerika Serikat ingin selalu jadi pesohor di segala bidang kehidupan.

Saat menorehkan catatan ini, ada satu hal yang sangat menarik pada status teman relawan muda PMI yang dikenal luas pergaulannya. Foto bertuliskan ekspresi nasionalisme ala gadis 18 tahun. Ketika ia bisa bermimpi, belajar, beraksi, percaya, buktikan dan cinta untuk Indonesia, Nova Dewi Lintang Kusuma Wijaya seolah ingin meyakinkan diri dan banyak orang untuk memahami keindonesiaannya. Meski dibayangi ketidakyakinan atas originalitas ekspresi itu, keberanian mengungkapkan di depan publik layak diapresiasi. Apalagi ada di tengah kegamangan bahwa nasionalisme alias paham kebangsaan Indonesia  kini (seolah)  berada di simpang jalan antara mondialisme dan sektarianisme.

Nova salaman sama Pak Muas

Foto bareng pasca berburu tanda tangan dukungan Ketua DPR RI

Bermimpi seperti apa atau bagaimanakah Indonesia itu? Tanpa harus berbuat seperti ahli nujum, peramal atau mentalist; saya berusaha membuat gambaran kasar tentang Indonesia yang diimpikannya. Yakni satu bangsa yang warganya saling mengenal, menyapa hangat, bergotong royong dan bekerja keras dalam mewujudkan suasana aman, tentram, damai, bermartabat, maju, adil dan makmur. Selalu hadir saat-saat yang penuh dinamika dan kesetaraan. Indonesia yang memberi ruang luas untuk mengekspresikan beragam sisi kemanusiaan para warganya. Terus bergerak maju dalam menggapai puncak-puncak prestasi lokal, nasional maupun global tanpa perbedaan gender, status sosial dan sebagainya. Memanusiakan manusia sesuai fitrahnya sebagai mahluk dan pemimpin dunia.

Kesadaran bahwa manusia adalah mahluk yang paling mulia, berbekal akal untuk belajar mengenal diri dan lingkungan sekitar. Satu proses pembelajaran sepanjang hayat di kandung badan dan berlandaskan nurani agar saling mengasihi, tolong menolong dalam kebaikan serta membawa manfaat seluas samudera, sedalam lautan dan buat seluruh isi alam semesta. Sejarah untuk bercermin dan ilmu pengetahuan serta teknologi untuk bergerak maju. Indonesia yang terus belajar dari pengalaman agar kehidupan dapat terus berjalan dan kesaksian ditegakkan. Indonesia yang berwarna warni tapi tetap merah putih di setiap ujungnya. Manusia Indonesia yang saling menerangi kehidupan dan penghidupan. Bukan hanya belajar dari dan tentang kegelapan nurani yang banyak menghias keseharian akhir-akhir ini.

Belajar memaknai kebangsaan Indonesia yang sesungguhnya, dalam beragam warna dan rupa kehidupan. Mungkin juga untuk memuaskan rasa ingin tahu, mengapa Indonesia yang begitu kaya bak jamrud di katulistiwa masih banyak penduduknya yang fakir dan miskin harta benda, pengetahuan dan terutama mentalitasnya. Apa yang salah dan bagaimana cara memperbaiki? Dan belajar dari kehidupan adalah aksi, bukan sekadar teori atau omong kosong. Apalagi provokasi. Dengan belajar terus menerus untuk beragam pengetahuan dan pengalaman, aksi itu akan mendorong munculnya kreativitas dan inovasi. Proses pembaruan terus menerus tak kenal lelah serta batas ruang dan waktu dengan tetap berarah pada tujuan, cita-cita atau mimpi itu. Mimpi Indonesia (Indonesian Dream) sebagai manusia (bangsa) yang beradab dan bermartabat. Inilah ekspresi diri dan berharap juga menjadi ekspresi masyarakat luas.

Ekspresi diri seorang Relawan PMI yang senantiasa berlatih (pada kehidupan) dan memperbarui pengetahuan dan pengalaman agar memiliki kesempatan cukup untuk mewujudkan mimpi Indonesia itu. Luasnya lapangan pengabdian diri pada kemanusiaan universal sejatinya tidak menjadi faktor penghalang dan mengeliminasi nilai-nilai kebangsaannya. Justru sebaliknya, merupakan kekuatan pendorong dalam menjalankan aksi-aksinya bagi keluarga besar Indonesia. Karena berbekal kepekaan nurani yang terasah dalam menjalankan tugas dan kewajiban kemanusiaannya. Inilah hal mendasar bagi upaya memelihara martabat dan peradaban manusia yang sangat mungkin tidak dimiliki para relawan politisi yang banyak bermunculan di musim kampanye politik. Karena hakikat relawan itu bukan profesi, tapi ladang amal yang harus dipelihara dengan ilmu dan aksi (karya nyata) bagi masyarakat.

Dengan pemahaman tadi, sikap terbaik untuk menyatakan kecintaan kepada tanah air dan bangsa Indonesia dilandasi kepercayaan bahwa di sinilah kita hidup dan wajib menjunjung tinggi peradaban serta martabat manusianya. Dengan menjadi relawan kemanusiaan pada perhimpunan nasional kepalangmerahan Indonesia (PMI) kepercayaan itu hadir secara utuh. Berbakti pada ibu pertiwi dibuktikan dengan karya nyata di ladang amal kemanusiaan dalam beragam situasi. Ketika situasi aman, kita belajar dan berkarya nyata. Apalagi dalam suasana darurat kebencanaan, baik karena faktor alam maupun perilaku manusia yang tidak menghargai peradaban dan martabat manusia pada umumnya.


Semoga pemaparan pada catatan saya ini tidak keliru tafsir dalam memaknai kecintaan kita kepada tanah air dan bangsa Indonesia seperti dinyatakan Nova dalam status facebook-nya di atas. Ekpresi yang sarat pesan moral dan bahan pembelajaran. Jika ini adalah hasil perenungan sepanjang Ramadhan kemarin, berbahagialah dirinya mampu menggapai makna fitri . Dirgahayu Kemerdekaan Bangsa Indonesia  dan Palang Merah Indonesia ke 68.  

Tulisan ini dimuat juga dalam Catatan Pribadi.

Posted in , , , , , , , | Leave a comment

Relawan PMI Berdedikasi dan Relawan Lainnya

Suasana pada acara Stand Up Volunteer 2 di sela giat TKN V

Oleh: Toto Karyanto
Dalam satu dasawarsa terakhir, sebutan relawan sering muncul dalam berbagai aktivitas politik terutama menjelang pemilihan umum. Berbeda dari posisi di PMI, relawan politik boleh dibilang sebagai pelengkap penderita. Mereka juga sering menjadi obyek pencitraan diri politisi yang pada akhirnya justru diposisikan sebagai korban ambisi politik entah berlabel kandidat presiden gubernur, bupati atau kepala desa. Kecenderungan ini terus berulang sampai kemudian muncul kesadaran bahwa para relawan politik tak lebih dari satu bentuk penjajahan berselubung demokratisasi. Tetap ada (bahkan cukup banyak) orang yang bersedia diperlakukan demikian karena termotivasi akan mendapat imbal jasa entah berupa materi, jabatan atau pekerjaan tertentu jika para kandidat yang dibelanya menduduki posisi yang diincarnya.

Berbeda dengan militansi relawan organisasi kemanusiaan di PMI misalnya. Mereka datang dengan satu kesadaran untuk menolong sesama sebagai perwujudan nilai kemanusiaan universal. Kesadaran ini mendorong upaya pembaruan pengetahuan dan ketrampilan praktis yang diperlukan untuk menjawab masalah-masalah aktual secara terus menerus baik secara formal melalui pengembangan kapasitas dalam beragam bentuk pelatihan teknis yang diselenggarakan oleh PMI di berbagai tingkatan. Maupun melalui cara-cara informal, berbagi informasi, pengetahuan dan ketrampilan antar relawan.

Kehadiran media sosial berbasis internet seperti Facebook, Twitter, Blog dan sebagainya adalah media yang cukup efektif untuk melakukan proses pembaruan di atas. Bahkan. Media sosial ini adalah sarana yang sangat efektif untuk melontarkan gagasan-gagasan baru yang segar dan visioner. Kesadaran akan pentingnya pembaruan yang berkelanjutan ini mengharuskan para relawan berpola pikir lepas dari keterkungkungan formalitas, pakem dan sejenisnya. Istilah umumnya adalah out of box. Pola pikir seperti ini membuat respon relawan berdedikasi terhadap situasi sulit dan darurat lebih kuat dan efektif. Dan ini telah dibuktikan di berbagai situasi bencana alam maupun kemanusiaan oleh banyak relawan PMI, PNS (palang merah/ bulan sabit merah negara sahabat) maupun berbagai organisasi kemanusiaan dunia lainnya.

Sebenarnya, dalam organisasi kemanusiaan yang tergabung dalam Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak dikenal istilah militan karena tidak sesuai dengan tujuh prinsip dasar yang menjadi pijakan utama segala aktivitas organisasional. Istilah berdedikasi lebih pas dan mewakili. Berdedikasi bukan kepada personalia atau orang-orang yang ada di dalam (sebut saja pengurus atau staf), tetapi lebih pada tujuan, misi dan visi organisasi. Bahkan, kalaupun seorang relawan tidak suka dengan para personalia organisasi di satu tempat, ia akan mencari di tempat lain yang bersedia memfasilitasinya. Atau justru dicari oleh wilayah tertentu.

Dalam banyak hal, relawan kemanusiaan berbeda dengan relawan politisi. Selain perbedaan peran, kedudukan dan orientasinya, relawan kemanusiaan cenderung lebih mengedepankan cara berfikir positif dan inovatif. Sementara itu, relawan politisi meski memiliki militansi biasanya bersikap eksklusif dan overprotective terhadap pribadi sang politisi ketimbang berupaya maksimal mewujudkan visi dan misinya. Tapi kecenderungan inipun kausistis dan sangat sementara.
Memang tidak sebanding untuk menyandingkan keduanya. Karena banyak perbedaan mendasar yang melatarbelakangi. Mulai dari orientasi pribadi, kesadaran diri, cara berpikir, sikap menghadapi masalah dan sebagainya. Bagaimanapun panjang jarak perbedaan itu, sebagai umat manusia, keduanya punya kesamaan yakni afiliatif. Satu berafiliasi pada tujuan, yang lain pada personal atau figur seseorang. Dari sekian banyak perbedaan, relawan kemanusiaan unggul dalam hal mental dan moral.


Tanpa mentalitas prima, seorang relawan kemanusiaan akan segera kehilangan segala kemampuan dan kendali diri ketika harus berhadapan dengan satu pilihan yang menyangkut nyawa manusia yakni mengutamakan korban hidup dan yang terparah kondisinya. Karena itu ada jargon “ tak pernah takut mati, tapi kuatir akan kelaparan”. Di sini, latihan kemampuan bertahan hidup di segala medan seperti dalam kemiliteran diajarkan dengan versi dan pendekatan yang berbeda. Juga beberapa pengetahuan tentang senjata pembunuh tanpa pernah berusaha menggunakannya. Dengan kata lain, relawan kemanusiaan di PMI juga harus tahu cara kerja senjata pembunuh dengan tujuan untuk melumpuhkan sifat mematikannya.

Berita tewasnya seorang relawan PMI yang tengah menjalankan tugas kemanusiaan di daerah konflik, Papua, akhir Juli 2013 yang lalu diangkat dalam beragam versi. Ketika dilansir pertama kali oleh media lokal Bintang Papua disebutkan bahwa menurut penuturan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Papua, Drs.Johanis Safkaur, M.M., mengatakan, 3 tenaga medis yang tertembak di Puncak Senyum, Kabupaten Puncak Jaya adalah anggota Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Provinsi Papua Wilayah Puncak Jaya. Hal ini dikuatkan oleh Sekretaris Jendral PMI Pusat, Budi Adiputro, yang mengutuk keras tindakan yang dinilai melanggar Konvensi Jenewa 1864 dan 1949 tersebut saat melakukan pertemuan terbatas dengan Polri dan TNI. Sementara itu, dalam hal penyebutan nama, ada yang menyebut nama Erik Yoman sebagaimana dilansir Kompas.com  atau Eri Wonda versi Tempo.co  dan  news.okezone.com . 

Ketidakjelasan pemberitaan di atas nampaknya menguatkan asumsi yang berkembang di lingkungan PMI, khususnya para relawan yang mengawal perjalanan pembahasan RUU Lambang Palang Merah yang berlangsung lebih dari 7 tahun (2005 - 2012) kemudian berganti nama menjadi RUU Kepalangmerahan (2012 - 27 Juni 2013) memang tidak dilakukan dengan bersungguh-sungguh baik oleh DPR selaku pengusul maupun Pemerintah RI  sebagaimana dijelaskan oleh Ketua DPR RI-Dr. Mazuki Alie . Ada yang berseloroh, karena menyangkut kepentingan PMI yang nota benernya adalah "tak beruang" maka proses pembahasannya seihlasnya alias kalau ada sisa waktu. Tapi ada juga yang menyikapi suasana ini sebagai bentuk hilangnya kepekaan nurani kemanusiaan para anggota Dewan yang akan menjadi lebih terhormat jika mereka memiliki dan menggunakannya untuk melihat dampak penundaan itu.

Relawan PMI yang menangkap gelagat buruk ini kemudian berupaya mencari tahu sebab-sebab teknisnya dari PMI Pusat. Di sisi lain, ada sebagian relawan melakukan analisis politik terutama untuk mengetahui penyempitan arus isu melalui kajian berita media massa dan khususnya media sosial. Kenapa media sosial semacam Facebook, Twitter, Blog dan lain-lain menjadi perhatian utama? Setiap kali relawan PMI yang tengah melakukan kajian politik ini, semakin banyak ditemukan fakta bahwa pihak atau partai politik yang tidak suka lambang palang merah dan PMI sedang gencar memanfaatkan media sosial untuk menggiring opini publik dalam proses pencitraan dirinya sebagai partai politik papan atas. Bahkan dengan cara-cara yang sangat bertentangan dengan hakikat nilai yang mereka usung sebagai bahan dasar kampanye pada proses pencitraan itu. Gusti Allah boten sare ! Allah itu Maha Adil dan Kuasa atas segala sesuai di alam semesta.

Munculnya kasus impor daging sapi yang menyeret presiden Partai Keadilan Sejahtera, Lutfi Hasan Ishak sebagai bagian dari pelaku tindak pindana korupsi yang disangkakan kepada Achmad Fatonah yang kemudian diketahui publik sebagai playboy tetap dibela dengan beragam cara melalui media sosial dengan intensitas sangat luar biasa. Ada yang memakai identitas terang, tapi sebagian besar tanpa nama atau memakai nama lain (nickname). Satu diantaranya nampak pada tulisan saya si centil yang suka menohok. Dan juga yang masih ringan  menyoal lambang PMI . Terakhir muncul hal serupa di grup facebook TKRNasional yang kebanyakan anggotanya adalah Relawan PMI ketika ada debat sengit pengguna akun Moh. Kafrawi yang memakai foto profil anggota Pasukan Khusus TNI AD (Kopassus) dan saya menanggapi kiriman dan tanggapan dua pemilik akun yang saya kenal dekat pribadinya. Inilah satu kecil bukti perbedaan mendasar integritas dan dedikasi  Relawan PMI dan relawan politik atau yang lainnya. 

Orientasi politik Relawan PMI adalah pengamalan ilmu pengetahuan, sedangkan relawan politik pada figur politisi atau partai politik tertentu. Sementara itu, dedikasi Relawan PMI adalah pada tujuan visi kemanusiaan universal yang sebenarnya merupakan pengeja-wantahan dari ajaran dan tujuan Islam yang memberi kebaikan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta (rahmatan lil 'alamin) ini. Dan ini juga yang menjadi roh  Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Relawan PMI yang berdedikasi menjaga roh tersebut dengan segenap jiwa dan raga.

H. Tutur Priyanto, Charles Taroreh, Dadi Kusmayadi dan Heri Yoman alias Eri Yoman atau siapapun nama asli para Relawan PMI yang gugur saat menjalankan tugas kemanusiaan di Puncak Jaya, Papua akhir Juli 2013 adalah catatan sejarah bagi PMI dan Bangsa Indonesia. Juga sejumlah korban perang kemerdekaan yang diberi tanda khusus (prasasti) di Malang. Boleh jadi ada nama dan peristiwa lain yang terlewatkan dalam catatan sejarah. Meski organisasi PMI diguncang dari luar melalui banyak hal, khususnya proses politik sektarian pembahasan RUU Kepalangmerahan dan kepicikan sejumlah orang yang mendapat amanah menjalankan organisasi PMI di berbagai tingkatan, di manapun dan dalam kesempatan apapun, Relawan PMI yang berdedikasi tinggi pada tujuan, misi dan visi Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah akan tetap dan selalu ada. Inilah yang membedakan kadar dedikasi Relawan PMI dengan relawan lainnya.

Tulisan ini juga dimuat di Catatan Pribadi     

Posted in , , , , , , , | Leave a comment