[COBA] PAHAMI KEJENGKELAN RELAWAN PMI




Kalau kita cermati berbagai komentar Relawan PMI di banyak media sosial dalam dua-tiga tahun terakhir nampak sekali nada kejengkelan yang berkepanjangan. Pertama jelas kepada pengurus di berbagai tingkat organisasi yang berasal dari kalangan birokrasi dan politisi yang tidak pernah mencoba pahami seluruh sisi kehidupan PMI selain urusan bulan dana dan pemanfaatan fasilitas pemerintah. Dan terakhir adalah kepada partai-partai politik yang telah "menghianati" amanat para pekerja kemanusiaan yang dalam menjalankan mandat negara selaku Perhimpunan Nasional maupun gerakan kemanusiaan universal (Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah) yang acapkali berhadapan dengan ancaman maut.

Kejengkelan kepada para politisi sebenarnya telah berlangsung sejak proses pembahasan RUU Lambang yang digagas oleh Pemerintah RI dalam menindak-lanjuti hasil kajian Pusat Studi Hukum Universitas Trisakti Jakarta bekerjasama dengan PMI Pusat. Satu faktor utama dalam kajian ini bermula dari kasus penembakan Elang Mulya Lesmana, seorang mahasiswa universitas tersebut dan Relawan PMI yang tengah bertugas. Sementara itu, dalam konstruksi hukum nasional yang berlaku di Indonesia, bahwa setiap perjanjian internasional yang telah diratifikasi harus segera dikuatkan dengan Undang-Undang. Sayang sekali, proses politik di DPR RI yang berlangsung sekitar 11 tahun sejak 2000 berakhir buntu karena melewati batas waktu masa tugas 2004 – 2009 dan 2009 – 2012 ketika tidak terjadi kesepakatan bulat. Pada proses ini, Relawan PMI sebagai jantung dan ujung tombak PMI masih berusaha menahan diri.

Bahkan, ketika #RUUKepalangmerahan diajukan oleh Badan Lesgislasi DPR RI mengganti RUU Lambang mulai dibahas dan banyak suara nyinyir anggota DPR RI yang berkomentar di media massa yang memberi kesan kepada publik bahwa lambang PMI dikultuskan, Relawan PMI meski semakin jengkel dengan sikap kekanakan itu tetap menahan diri. Begitu pula dengan aksi 3 Desember 2013 yang kurang diminati media massa pandang dengar (TV). Kedatangan 521 Relawan PMI mewakili lebih dari 2.150.000 orang dari seluruh wilayah Indonesia menemui Ketua DPR RI  juga masih dalam suasana menahan diri. Tetap mengedepankan sikap beradab sebagai perwujudan prinsip-prinsip dasar Gerakandan kepatuhan pada hukum positif di Indonesia. Satu-satunya ekspresi kejengkelan dinyatakan dengan menyebut angka 10.000 orang Relawan PMI se Indonesia siap menagih janji Ketua DPR RI yang telah menyatakan akan mengganti Ketua Pansus #RUUKepalangmerahan jika tak segera bersidang menyelesaikan hal-hal yang tidak prinsipiil dalam masa persidangan ke 3 atau terakhir yang telah dimulai sejak tanggal 15 Januari 2014 lalu.

Sambil menunggu itikad baik dari Ketua DPR RI maupun seluruh anggota Pansus #RUUKepalangmerahan yang sebagian besar telah mendengar secara langsung pendapat dan keluh kesah Relawan PMI dalam proses audiensi 5 – 18 Desember 2013, proses konsolidasi kekuatan Relawan PMI terus berlangsung. Termasuk ketika menjalankan tugas kemanusiaan di berbagai lokasi bencana di tanah air. Satu hasilnya adalah seruan agar memelihara dengan sungguh-sungguh Prinsip Dasar Kenetralan dalam pemilu legislatif 9 April 2014 mendatang. Seruan yang disampaikan secara karikaturis nampak pada gambar di bawah ini. Dari keterangan yang dilampirkan dalam gambar tadi jelas sekali bahwa Relawan PMI telah mengambil sikap !

Jika dicermati, sikap tadi adalah satu dari banyak puncak kejengkelan Relawan PMI terhadap proses politik yang tak lagi mengindahkan adab. Siap pasang badan dan mengambil risiko tertinggi (ada yang mengistilahkannya dengan perjuangan sampai titik darah penghabisan). Dan barisan yang militan kian meluas, sekalian melakukan mitigasi jika proses politik bagi #RUUKepalangmerahan akan mengalami hal serupa RUU Lambang.

Karena itu, ketika sebagian anggota DPR RI yang tengah membahas RUU Lambang yang kemudian mengalami jalan buntu setelah tidak tercapai kesepakatan politik bertamasya ke Denmark dan Turki dengan alasan studi banding sikap relawan PMI masih menahan diri meski kian sulit melepas kejengkelan atas "kebodohan yang terpelihara" itu. Sebagaimana kita, masyarakat awam tahu, bahwa studi banding ke luar negeri lebih banyak menjadi ajang wisata gratis tanpa maslahat. Menghamburkan uang rakyat untuk memuaskan syahwat pribadi di balik alasan politiknya.

Terlalu banyak contoh yang bisa diberikan untuk menunjukkan dan membuktikan bahwa Relawan PMI tak pernah gentar menghadapi risiko maut sebesar apapun dari jaman ke jaman. Memang tidak semua, tapi mayoritas Relawan PMI yang berpegang teguh pada tujuan organisasi sebagai dapat dipastikan sebagai militan dalam pengertian umum. Apa artinya ? Di sinilah yang akan digambarkan sesuai judul tulisan di atas.

Seorang Tutur Priyanto yang bergabung sebagai anggota Tenaga Sukarela (TSR) PMI Kabupaten Bantul sekitar setahun sebelum Gempa Bumi yang berpusat di pantai Selatan Jogja berkekuatan 5,9 SR pada 27 Mei 2005 terjadi, adalah seorang mantan anggota Resimen Mahasiswa dan komandan Banser NU di wilayahnya. Dengan latar belakang itu, ia bukan orang yang asing dengan dunia kemiliteran dalam kadar tertentu. Ia juga tahu akan resiko ketika memutuskan naik ke rumah mBah Maridjan sang  juru kunci Gunung Merapi yang fenomenal itu untuk membujuk dan membawanya menjauh dari aliran lahar panas yang terus mengalir deras dari puncak gunung berapi teraktif di dunia tersebut.

Almarhum Tutur Priyanto adalah satu dari ratusan, bahkan ribuan Relawan PMI militan yang sangat faham dengan segala risiko tugas dan konsistensi memelihara sikap sebagai suka relawan organisasi kemanusiaan yang menjalankan mandat Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Karena kecintaan pada organisasi mendorong para relawan bersedia mempertaruhkan nyawanya. Realitas ini telah terjadi sejak jaman perjuangan merebut dan menegakkan kemerdekaan sampai sekarang.

This entry was posted in ,,,,,,. Bookmark the permalink.

Leave a Reply