Selayang
Pandang
Menyambut datangnya sang fajar baru di
tengah arena Rembug Relawan PMI ke 2 yang direncanakan akan berlangsung 15-17
Agustus 2014 di Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah yang di dalamnya akan
ada Seminar atau Sarasehan Kewirausahaan Sosial, saya ingin menyampaikan
beberapa pokok pikiran. Tema kewirausahaan diangkat sebagai satu issue besar
karena potensi kewirausahaan yang ada di dalam Komunitas SukaRelawan PMI sangat
besar dan belum digarap dengan sistematis.
Tujuan utama pembahasan adalah untuk
memetakan potensi kekuatan para SukaRelawan PMI yang selama ini telah
membuktikan konsistensi memelihara sikap mandiri sesuai Prinsip Dasar
Kemandirian dalam Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Perhimpunan
Nasional kepalangmerahan (PMI) adalah organisasi kemanusiaan yang berbasis
kesukarelaan dan partisipasi masyarakat (volunteersm and community base).
Memasuki era baru pasca Musyawarah Nasional 2014, SukaRelawan PMI harus mampu
menjadi tulang punggung selain sebagai ujung tombak dan agen perubahan dalam
organisasi PMI masa depan. Kewirausahaan sosial merupakan sebuah usulan
terpilih karena memenuhi kriteria itu.
Tulisan ini disusun berseri dan akan
menjadi satu dari beberapa bahan tulisan yang akan dipaparkan oleh pemrasaran
lain dalam seminar atau sarasehan nanti. Semoga bermanfaat.
Kebumen, 11 April 2014
Komunitas Relawan PMI Sosial Media
KampoengRelawan
Tetua Adat
Toto Karyanto
1.
Pengantar
Diskusi
Kewirausahaan
Sosial atau Social-preneurship adalah konsep kewirausahaan umum
(entrepreneurship) yang mendapat muatan sosial di dalamnya. Selama ini, kita
mengenal kewirausaha merupakan pendekatan ekonomi yang digunakan untuk
mengatasi masalah pengangguran dan menggiatkan partisipasi warga masyarakat
secara individual dalam menggali serta menguatkan sumber daya internalnya dalam
suatu kegiatan ekonomi bernilai tambah.
Dalam pendekatan
kewirausahaan sosial, warga masyarakat diharapkan berhimpun dalam
kelompok-kelompok kecil (5 – 25 orang), sedang ( >25 – 50) dan besar >50
orang. Biasanya, ada satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai pemimpin
karena memiliki sumber daya memadai di bidang intelektual (gagasan, konsep,
metode, sistem), dana dan akses produksi maupun pasar. Para pemimpin itu
bertindak sebagai pembuka jalan, pembimbing (motivator), pelatih dan
sebagainya.
Sampai saat ini
konsep dasar kewirausahaan sosial masih berkembang sesuai situasi dan kondisi
lingkungannya. Pada umumnya, seorang wirausaha berperan baik
secara internal maupun eksternal. Secara internal seorang wirausaha berperan
dalam mengurangi tingkat kebergantungan terhadap orang lain, meningkatkan
kepercayaan diri, serta meningkatkan daya beli pelakunya. Secara eksternal,
seorang wirausaha berperan dalam menyediakan lapangan kerja bagi para pencari
kerja. Dengan terserapnya tenaga kerja oleh kesempatan kerja yang disediakan
oleh seorang wirausaha, tingkat pengangguran secara nasional menjadi berkurang.
Pakar ekonomi Dr. Rhenald Kasali,
pernah mengatakan bahwa dampak
globalisasi menjadikan keanggotaan suku/ komunitas manusia tidak lagi ditandai
oleh aspek regional atau kewilayahan. Namun
justru oleh grup atau
kelompok-kelompok di jejaring digital seperti facebook, twitter dan
semacamnya. Hal itu tentu bukan tanpa alasan. Seperti kita bisa saksikan
sehari-hari, generasi masa kini, jauh lebih sering dan intens berhubungan dengan
rekan-rekan di dunia maya-nya dibandingkan dengan lingkungan sosial di
sekitar rumahnya. Sehingga seakan-akan suku atau anggota keluarga mereka
adalah kelompok dalam jejaring sosial tersebut, yang dapat terdiri
dari invididu-individu yang terpisah ratusan kilometer.
Informasi mengalir dan senantiasa terbarukan (update). Potensi semakin redupnya budaya bangsa dan
budaya daerah kita sendiri cenderung menguat. Dengan kata lain, generasi muda
Indonesia terancam menjadi tamu bagi
budayanya sendiri, karena mereka mungkin jauh lebih hafal dan fasih budaya dan
gaya hidup dari negeri seberang.
Ada dua sektor
kegiatan ekonomi yang berbasis budaya. Pertama, OVOP (One Village One Product).
Pendekatan sistem pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan budaya yang
mengesplorasi sumber-sumber daya lokal menjadi produk bernilai tambah tinggi
dan berdaya jangkau global. Pendekatan ini digagas dan dikembangkan oleh
Gubernur Perfektur Oita, Dr. Morihiko Hiramatsu. Berbekal pengalaman bekerja di
MITI Jepang, beliau mengubah pendekatan klasikal GNP dengan GNS (Gross National
Satisfaction). Inilah yang menjadi dasar semangat OVOP. Dari maksi menjadi
mini. Kini, hampir semua anggota Asean telah mengaplikasikan pendekatan ini
dengan cara dan metoda yang berbeda. Misalnya, Thailand yang memanfaatkan
internet masuk sampai tingakat desa agar informasi kegiatan ekonomi produktif
warganya senantiasa terbarukan.
Kedua,
pengembangan potensi ekonomi berbasis kreativitas yang dikenal dengan nama
ekonomi atau industri kreatif. Ada 15 subsektor yang tercakup di dalamnya yaitu
kerajinan, musik, seni pertunjukan, arsitektur, desain, permainan kreatif, TIK,
busana, fotografi-video-film, radio dan televisi, pasar barang seni, percetakan
dan penerbitan, riset dan pengembangan serta kuliner. Volume, sebaran dan kontribusi kegiatan
ekonomi kreatif ini cenderung kian meningkat. Apalagi dengan hadirnya pusat-pusat
(kota) kreatif dan Sentra Kreatif Rakyat yang memadukan aktivitas pariwisata
dan pengembangan aktivitas ekonomi berbasis budaya lokal.
Kawasan
Perdagangan Bebas Asean (AFTA) 2015 sudah ada di depan pintu rumah kita,
Indonesia. Banyak pihak telah bersiap diri menyambutnya. Pemerintah menyatakan
optimis kita akan mampu melalui perjalanan awalnya karena berbagai persiapan
telah dilakukan. Sementara itu, dunia usaha melalui Ketua Umum Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, justru bersikap sebaliknya. Terlepas
dari kontroversi tadi, sebagai warga masyarakat umum, kita boleh bersikap
apapun. Dan kondisi apapun yang akan terjadi di dalam rumah Indonesia kelak,
kita harus siap dengan risikonya.
AFTA atau ada juga yang menyebut ACFTA (Asean dan China)
adalah sebuah momentum yang berpeluang menggerakkan beragam potensi ekonomi
kreatif masyarakat. Subsektor industri (ekonomi) kreatif itu merupakan salah
satu strategi pembangunan ekonomi dan industri yang
bisa diandalkan selain sektor manufaktur dan jasa. Apalagi, industri berbasis
ide, teknologi, seni, dan kekayaan intelektual itu memiliki banyak sentra
industri kreatif yang potensial. Misalnya, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Solo, Pekalongan,
Bali, dan lainnya.
Dirjen Pengembangan Ekonomi Nasional
Kementerian Perdagangan Hesti Indah Kresnarini mengutarakan, industri kreatif
akan berkembang pesat setiap tahunnya. Pertumbuhannya dominan dikontribusi
fesyen dan kerajinan. Pemerintah memiliki cetak biru pengembangan industri
berbasis ide yang terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama, periode 2010-2015,
disebut tahap penguatan ditargetkan bisa tumbuh sekitar 11%-12% setiap
tahunnya. Sementara tahap kedua, periode 2016-2025, disebut tahap akselerasi
diharapkan bisa tumbuh sekitar 12%-13%. [1].
Berdasarkan angka statistik, pada 2013 lalu kontribusi
ekonomi kreatif terhadap perekonomian sebesar Rp 641,8 triliun atau mencapai 7%
PDB nasional. Ekonomi Kreatif juga mencatat surplus perdagangan selama periode
2010 hingga 2013 dengan nilai surplus sebesar Rp 118 T. Kontribusi devisa dari
sektor ekonomi kreatif mencapai 11, 89 Milyar USD, sehingga secara total sektor
pariwisata dan ekonomi kreatif menyumbang devisa sebesar 21,95 Milyar USD atau
berkontribusi sebesar 11,04% pada total devisa Indonesia. [2].
Bagaimana dengan perkembangan OVOP di Indonesia? Sampai
saat ini masih terdapat kesulitan memperoleh data aktual yang dapat diandalkan
baik dari Kementerian Koperasi dan UMKM maupun Badan Pusat Statistik. Sehingga
tidak ada data pembanding yang dapat dipakai untuk membuat prediksi maupun
analisis, minimal dengan pendekatan SWOT (strenght, weakness, opportunity and
threath). Kalaupun ada data yang dapat digunakan, biasanya berasal dari data
sekunder atau tersier yang akurasinya tidak memadai.
Meski demikian, ada keyakinan bahwa OVOP adalah satu
pendekatan ekonomi yang memiliki banyak kelebihan. Terutama berkaitan dengan
potensi mengangkat dan mengembangkan produk-produk lokal berbasis budaya yang
mampu bersaing di pasar global. OVOP seperti halnya ekonomi kreatif, saat ini
ditangani oleh sedikitnya 3 (tiga) kementerian yaitu Kementerian Koperasi dan
UMKM, Kementerian Patiwisata dan Ekonomi Kreatif serta Kementerian
Perindustrian dalam kordinasi kewenangan Kemenkop dan UMKM.