Rapat persiapan Aksi pengesahan #RUUKepalangmerahan Relawan PMI se Indonesia 3 Des 2013 |
Relawan
PMI adalah sekelompok manusia Indonesia yang memiliki beberapa penampilan. Di
masa aman dan damai, tampilan yang mengemuka adalah sosok manusia penuh kasih
dan sayang kepada sesama di bidang kesehatan umum semisal pertolongan pertama
(dulu disebut PPPK, hanya bidang penanganan kecelakaan), perawatan keluarga dan
lain-lain. Sementara itu, ketika menghadapi situasi khusus dalam penanganan
bencana maupun konflik sosial atau bersenjata (perang), tampilannya akan
berubah jadi manusia yang seolah sangat berani menyongsong maut.
Menghampiri aliran lahar panas atau berjalan di antara hujan peluru adalah
konsekuensi tugas evakuasi dan/atau menolong korban di lokasi bencana letusan
gunung berapi atau medan perang. Itulah gambaran umum tentang Relawan PMI
berdedikasi (istilah lain untuk menggantikan kata militan ).
Mengikuti
perjalanan teman-teman Relawan PMI bagi organisasinya bisa terjadi di segala
suasana. Pada suasana biasa mungkin tak banyak hal yang menarik perhatian.
Tapi dalam suasana khusus, banyak sekali hal tak terduga muncul secara spontan
dan membawa suasana kejiwaan yang khas dan mungkin akan menjadi kenangan seumur
hidup. Itulah yang saya rasakan saat menerima berita dari rekan Relawan PMI
dari Surabaya, dr. Seno Suharyo, meneruskan informasi dari anggota Tim Advokasi
PMI Pusat untuk RUU Lambang: Fitria Sidiqah. Intinya, karena terjadi kebuntuan
pembahasan (deadlock), RUU Lambang bagi PMI yang merupakan inisiatif
Pemerintah RI tak dapat diteruskan proses legalisasinya di DPR RI pada akhir
tahun 2011 atau awal 2012.
Kemudian
muncul #RUUKepalangmerahan yang merupakan inisiatif DPR RI pada akhir tahun
2012. Membaca situasi tersebut, kami berdiskusi cukup mendalam tentang berbagai
kemungkinan yang dapat terjadi dalam proses yang dirasa akan mengalami situasi
serupa dengan inisiatif Pemerintah RI sebagai tindak lanjut ratifikasi Konvensi
Jenewa 1949 yang sebagian diantaranya telah menjadi dasar hukum formal. Yaitu
UU No. 59 tahun 1968 tentang tanda pelindung bagi dinas kesehatan TNI
dan Perhimpunan Nasional Palang Merah Indonesia. Sementara itu, yang
berfungsi sebagai tanda pengenal justru belum ada. Akibatnya, banyak
penyalahgunaan lambang oleh pihak-pihak yang tak kompeten tanpa sanksi hukum
yang jelas dan tegas baik oleh pemerintah selaku penyelenggara negara maupun
PMI yang merupakan perhimpunan nasional kepalangmerahan yang diakui pemerintah
melalui Kepres No. 25 tahun 1950.
Kesadaran
yang muncul dari pemikiran jernih dan nurani yang dalam, mendorong kami segera
menginisiasi gerakan dukungan tanda-tangan sebagai gerakan moral seluruh warga
masyarakat Indonesia yang dimulai dari lingkungan internal organisasi PMI,
khususnya relawan se Indonesia. Respon pertama muncul dari sdr. Abidin yang
lebih dikenal sebagai Kang Bidin dari PMI Kabupaten Bogor dan diwujudkan
sebelum peringatan HUT PMI ke 67, 15 September 2012. Gerakan ini menggelinding
bak bola salju yang kian membesar ke segala penjuru. Anggota TSR PMI Kota
Banjarmasin, Hafiludin (Hafil Dayak) menggelindingkan di wilayah Indonesia
Timur. Terutama pulau Kalimantan dan sekitarnya. Gayung bersambut, di pulau
Dewata digalang oleh Edi Suprayitno (KSR PMI Kabupaten Badung). Sementara itu,
pulau Jawa yang menjadi sentral kegiatan justru merespon dengan sangat lambat.
Mungkin terkendala faktor kultural, ewuh pekewuh (sungkan) yang tidak
proporsional.
Bola
salju tadi terus membesar dan menuju satu titik bernama Silaturahmi Relawan PMI
Media Sosial se Indonesia di Markas PMI Kabupaten Bantul, 24 - 26 Mei 2013.
Hadir perwakilan relawan dari berbagai wilayah : Sumatera (diwakili Bengkulu
dan Sumatera Selatan), Jawa (semua provinsi kecuali Banten), Bali dan
Kalimantan. Yang menarik dari pertemuan ini adalah munculnya kesadaran
dan kesamaan persepsi tentang pentingnya Relawan PMI sebagai ujung tombak
organisasi dalam mencapai tujuan PMI masa depan yang lebih baik. Beberapa
relawan dari DKI yang juga menjadi staf di PMI Pusat memberi gambaran cukup
gamblang tentang keadaan PMI yang tengah berjalan. Baik Deni Prasetyo, Rahmat
maupun Dodi Kiting menguatkan gambaran tentang perlunya pembenahan secara
signifikan agar PMI dapat berfungsi sesuai khitahnya selaku
Perhimpunan Nasional Kepalangmerahan di Indonesia.
Diskusi
yang lebih intensif pasca silaturahmi Bantul terus berlanjut di berbagai media
sosial. Baik di grup-grup facebook, twitter, blog, chatting maupun
milis. Ketika proses diskusi tengah memasuki tahap intensif, ada musibah
kecil dari seseorang yang mengaku pemilik grup Voltage sebagai grup diskuksi
utama di facebook. Akibatnya, sejumlah orang yang semula merasa cukup nyaman
berdiskusi di grup ini kemudian menyatakan diri mundur secara beramai
ramai kepada saya. Secara kebetulan, saya telah membuat sebuah grup
bernama Reuni Relawan Gempa Bantul yang kemudian diubah menjadi Kampoeng
Relawan. Penamaan itu bukan tanpa sengaja, tapi dengan kesadaran bahwa mengahadirkan
suasana kampung yang aman, tenteram dan damai sangat diperlukan untuk
mengikat kembali anggota forum diskusi konstruktif bagi
organisasi PMI yang lebih baik di masa depan.
Para
inisator yakni Tri Sugiarto dan Suhartadi (Semarang); Seno Suharyo, Rudi
Winarto "Bom Doank" dan Ken Aditya (Surabaya), Musytarif Muhammad
(Tulungagung); Edi Suprayitno (Doaku Palestina - Bali); Eko Legowo (Eko Legok -
Sleman) dan Seto Handoko (Bantul); Iskandar Akbar (Rere Kampret ) dan
Bambang Widodo dari Palembang; Suwandi (Dang Adi - Bengkulu); Mashur Yadi (Bang
Yadi Al Ghoribi - Pangkalpinang); Ahmad Misno (Bang Misno-Banjar); Muksinun
(Kota Jogja); Deni P, Rahmat dan Dodi Kiting (Jakarta) serta saya mulai
melanjutkan proses diskusi sersan dan intensif (konstruktif dan solutif) di
grup Kampoeng Relawan sampai sekarang (bersambung).