Stand Up Volunteer: Jembatan Buat Relawan PMI di Masa Depan (I)

Prolog Moderator
Oleh : Toto Karyanto
Istilah asing ini pertama kali saya dengar dari rekan Seno Suharyo (Surabaya) dan Andi Gumilar (Jakarta) di sela rencana mengisi kegiatan alternatif bagi peserta Temu Karya Nasional V 2013 Relawan Palang Merah Indonesia (TKN V 2013 Relawan PMI) di Basecamp Kampoeng Relawan Wisma Sakura 7 Obyek Wisata Waduk Selorejo, Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur pada hari ke 3 pelaksanaan. Secara harafiah, Stand Up Volunteer berarti Relawan Bicara. Karena pengertian itu yang saya tangkap dari berbagai pembicaraan kedua orang tersebut. Dengan gaya khas, Andi Gumilar yang akrab disapa Bang Andi memberi gambaran umum tentang langkah dan hal ihwal materi acara yang tengah direncanakannya. Yakni menyediakan ruang yang cukup terbuka bagi relawan PMI anggota kontingen peserta TKN V untuk berbicara tentang dirinya dalam segenap pengetahuan, pengalaman dan masalah yang ada di sekeliling. Sisi menarik dari rencana ini adalah sifat kegiatan yang non formal alias tidak diagendakan oleh Panitia. Atau mempertajam pembahasan yang ada di dalam agenda kegiatan formal “Sarasehan Relawan Sebagai Agen Perubahan” pada tema Rancangan Undang Undang (RUU) Kepalangmerahan dengan nara sumber Ketua DPR RI, Bapak Marzuki Alie.

Mengapa relawan PMI perlu bicara ? Sebagai ujung tombak segenap kegiatan operasional PMI, relawan selalu berhadapan dengan situasi aktual dalam mengabdi pada organisasi. Dari dua sesi acara Stand Up Volunteer yang digelar di depan Kedai Kampoeng Relawan di lingkungan Bazar Relawan terungkap banyak hal tentang ketidak-harmonisan hubungan antara 3 komponen utama organisasi PMI: Pengurus, Staf dan Relawan yang berlangsung dalam waktu yang panjang tanpa ada tanda-tanda penyelesaian mendasar dan menyeluruh.  Selain bersumber dari  ketidak-sesuaian aturan dasar (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) dengan segala turunannya, posisi relawan yang tidak jelas dalam struktur organisasi, praktik yang salah atau keliru dalam menjalankan tugas pemerintah, akuntabilitas dan lain-lain.

Selaku pemandu acara, saya mengantarkan diskusi dengan memberi gambaran bahwa relawan PMI yang jumlahnya tak kurang dari sejuta, jika masing-masing bersedia menyumbang 10 ribu rupiah,  maka terkumpul dana 10 milyar. Satu jumlah yang cukup besar untuk melakukan banyak aktivitas produktif dan inovatif. Dengan gambaran ini, peserta diharapkan dapat membayangkan bahwa kekuatan relawan PMI jika dikumpulkan merupakan potensi besar yang tak dapat diabaikan baik secara internal maupun eksternal. Meski prolog ini tidak berlanjut dengan respon searah, dalam proses tanya jawab dengan Ketua Bidang Relawan Pengurus PMI Pusat, Bapak H.M. Muas, sempat mengemuka pengakuan bahwa beliaupun termasuk “gila” dalam menggerakkan roda organisasi PMI. Pengakuan ini setidaknya membuat suasana dialog menjadi cair dan mengalir.

Gaya Pak Muas 1 

Proses dialog dimulai dari pernyataan moderator yang menegaskan bahwa forum ini “bukan pemuas nafsu” karena banyaknya masalah yang ada di dalam organisasi PMI. Terutama berkait dengan posisi relawan yang selama ini acapkali diperlakukan tidak adil oleh staf maupun pengurus di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Sebagaimana dikatakan oleh penanya pertama, Eko dari DKI Jakarta, bahwa banyak masalah yang harus diselesaikan untuk menyongsong masa depan PMI yang lebih baik di masa mendatang.

Pertanyaan berikutnya dari Bambang (Kalimantan Barat) yang menyoroti kinerja Panitia TKN V. Bahwa secara umum, panitia pusat maupun lokal berkesan tidak cukup siap menyelenggarakan kegiatan akbar lima tahunan ini dengan banyaknya kesalahan yang dibuat, mengulang kesalahan yang sama di masa lalu, kurang kordinasi dan komunikasi. Sementara itu, Aziz Zaki dari Nusa Tenggara Barat menyoroti masalah keuangan berkaitan dengan aspek monitoring dan evaluasi (monev) karena terjadi banyak perubahan rencana dan bersifat mendadak. Akibatnya, banyak kontingen yang harus menyiapkan tambahan dana dan hal ini berdampak pada masalah pertanggung-jawabannya.

Sorang peninjau dari Bali yakni Pak Cok, panggilan akrab Bapak Agung Adnyana, dari Persatuan Donor Darah Kabupaten Badung mengeluhkan tidak dilibatkannya PDDI dalam aktivitas rekrutmen anggota kontingen, kepanitiaan lokal maupun pusat yang membuat dirinya merasa kesulitan melakukan proses monitoring dan evaluasi kegiatan dalam TKN V ini. Kendala lain adalah faktor jarak. Sehingga efektivitas kegiatan akbar ini layak dipertanyakan.



Pak Cok membubuhkan tanda tangan dukungan

Suasana dialog menjadi semakin menarik dan hangat dengan tampilnya Ria dari Kalimantan Timur yang mengenakan asesori layaknya seorang ratu. Dengan pembawaannya yang kocak, ia memaparkan keheranannya atas beberapa hal penting yang mengalami perubahan tanpa ada penjelasan memadai dari Panitia. Pertama, soal rencana atau agenda kegiatan menginap di tengah warga masyarakat sebagai pelaksanaan giat pengabdian masyarakat yang ditiadakan. Kedua, ia juga mempertanyakan soal kompetensi dalam giat temu karya ini. 
 Aziz NTB
Ria Kaltim

This entry was posted in ,,,,,,,,,,. Bookmark the permalink.

Leave a Reply