Disaat Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepalangmerahan menjadi tarik
ulur di Senayan. Nun jauh disana, di bumi Papua, satu orang lagi relawan
Palang Merah Indonesia (PMI) gugur dalam menunaikan tugas kemanusiaan. Heri
Yoman (32) menjadi martir bagi ibu pertiwi yang membesarkannya.
Kejadian
Rabu (31/7) sekitar pukul
14.30 WIT terhadap 3 orang kru ambulans PMI di Puncak Senyum, Distrik
Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya menunjukkan bebalnya pemahaman masyarakat
terhadap tugas-tugas kemanusiaan yang diemban oleh relawan PMI khususnya dan
pemahaman terhadap Hukum Humaniter Internasional umumnya.
Siapapun
pelakunya, apapun motifnya, hal tersebut adalah tindakan yang tidak dapat
dibenarkan. Sesuai Konvensi Jenewa (1864 dan 1949), relawan palang merah atau bulan sabit merah haruslah dilindungi saat melakukan tugas kemanusiaan sesuai dengan desiminasi Hukum Humaniter Internasional dan nilai-nilai hakiki perikemanusiaan. Hal ini menjadi preseden
buruk tentang carut-marutnya kondisi sosiopolitik di bumi Papua dan Indonesia pada umumnya.
Konflik
telah memakan ‘anak kandung’-nya. Palang Merah Indonesia sebagai induk
organisasi relawan palang merah di Indonesia tentu akan melakukan
langkah-langkah strategis guna mengantisipasi agar kejadian serupa tidak
terjadi lagi. Diseminasi Hukum Humaniter Internasional menjadi
keniscayaan yang harus dibangun lebih giat lagi. Utamanya terhadap
pemuka-pemuka suku yang ratusan jumlahnya di bumi Papua.
Tentu
PMI tidak dapat bergerak sendiri. Palang Merah Papua New Guinea sebagai mitra
internasionalnya hendaknya dapat digandeng untuk melakukan hal itu. Ketua PMI Pusat, H.M. Jusuf
Kalla tentu sudah cukup piawai dalam hal ‘menembus batas’ sebagaimana
dilakukannya pada negara-negara yang sedang mengalami konflik politik.
Dukungan
politik terhadap peran PMI juga menjadi keniscayaan yang tidak bisa dihambat
lagi.
Tahun 2004-2013, sembilan tahun bukanlah rentang waktu yang
pendek untuk ‘menelorkan’ satu undang-undang yang mengatur tentang Lambang Perhimpunan Nasional Palang Merah (sesuai dengan nama RUU dan fakta sejarah yang ada di Indonesia). Tugas kemanusiaan yang diemban oleh Palang Merah Indonesia sejak
kemerdekaan hingga kini jangan lagi menjadi angin lalu. Wakil rakyat (DPR) yang duduk manis di Senayan jangan lagi bermain-main dengan
retorika dan janji-janji palsu. Relawan tidaklah membutuhkan retorika atau janji-janji palsu itu. Namun pembuktian terhadap segera disahkannya RUU menjadi UU Kepalangmerahan.
H.
Tutur Priyanto (Yogya), Charles Taroreh (Manado), Dadi Maryadi (Bogor) dan terakhir anggota PMI yang tewas tertembak di Puncak Jaya Papua (Heri Yoman) adalah pahlawan serta inspirator bagi relawan-relawan lainnya. Sebelum itu, di tengah suasana perang menegakkan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, telah gugur beberapa relawan PMI sewaktu menjalankan tugas kemanusiaan dan kebangsaan. Bahwa
sewaktu-waktu bahaya mengancam jiwa dalam tunaikan tugas kemanusiaan, baik
dalam kondisi damai maupun perang. Jika momen ini tidak dapat menjadi pelecut
bagi disahkan UU tentang Lambang Palang Merah, tentu Pak Marzuki Alie dan seluruh wakil rakyat di Senayan
tidak perlu menunggu (lagi) jiwa-jiwa relawan menjadi martir.
Semoga
Alloh memberikan keteguhan hati bagi saudara-saudaraku relawan PMI di seluruh
negeri. Semoga Alloh memberikan kekuatan hati untuk membukakan matahati para
anggta DPR yang terhormat, untuk tidak menunda-nunda lagi disahkannya UU
Lambang Palang Merah hanya untuk kepentingan politik sesaat.