Sehari jelang
Idul Fitri 1435 H, udara malam itu terasa cukup hangat. Di antara rasa lelah
dan kantuk, bersama Ketua Panitia Pelaksana Karya Bakti untuk Negeri (KBN)
2014, Wisnu Darmaji yang orang Gombong, saya berboncengan menuju kediaman,
showroom Mutiara Handycraft, tempat produksi aneka produk perca kualitas ekspor
serta asrama para pekerja yang kesemuanya penyandang cacat tubuh. Kami disambut
hangat oleh Ibu Irma Suryati (39). Setelah bersalaman dan sedikit basa-basi,
kami mengutarakan maksud kedatangan kepada beliau. Seolah tanpa beban yang
semula menjadi ganjalan berat dalam benak saya beberapa hari terakhir, begitu
berkomunikasi dengan sosok wanita yang menurut saya jauh lebih hebat dari Margareth
Tacher “si wanita besi”, mantan perdana menteri Inggris, semua kepenatan tadi
kemudian sirna setelah Ibu Irma menyatakan siap “memborong” seluruh sisa stand
Bazar Relawan dan Potensi Kreatif Rakyat dalam rangkaian kegiatan KBN. Tanpa
rasa sungkan, kami berucap “ alhamdulillah “. Puji syukur kepada Tuhan
Yang Mahakuasa. Plong… hilang satu beban pikiran yang cukup mengganggu ini.
Berkali-kali katakan kepada Wisnu, inilah ” blessing in disguish (hikmat
yang tersembunyi” dari silaturahmi. Apalagi di bulan Ramadhan yang penuh
berkah, ampunan dan manfaat. Berkah Ramadhan 1435 H benar-benar kami rasakan
dalam menyempurnakan ihtiar dari satu niat tulus mendukung dan menguatkan
organisasi kemanusiaan Palang Merah Indonesia (PMI) sesuai tujuan berdirinya KampoengRelawan
meski dalam bayang-bayang sinisme orang-orang yang tak pernah rela
akan kelebihan atas kemampuan orang lain,
Begitu topik Kewirausahaan
Sosial dibuka, pembicaraan kami jadi lebih hangat. Antusiasme Ibu
Irman tercermin dari isi pembicaraan yang kian berbobot. Kemudian satu dua
peristiwa sejarah perjalanan usahanya di bidang produksi, distribusi dan
pengembangan kerajinan kain percanya. Kebanyakan hal yang terlontar dari
ceritanya adalah gambaran yang selama lima belas tahun lalu pernah saya sampaikan
kepada teman-teman pendamping program ekonomi dalam Lembaga Ekonomi Produktif
Masyarakat Mandiri (LEPMM) yang konon didanai dari bantuan Bank Dunia di masa
awal era reformasi. Banyak kesamaan yang kami rasakan dalam mengupayakan
penguatan ekonomi kerakyatan. Tapi harus diakui bahwa semangat juang dan daya
tahan beliau jauh lebih kuat dibanding saya yang dianugerahi tubuh sempurna,
kesempatan mengenyam pendidikan yang jauh lebih baik dan maju serta yang
membuat saya harus menertawakan diri adalah semangat juang ibu lima anak ini
jauh lebih hebat dari anak keturunan Pelajar Pejuang Kemerdekaan (Tentara
pelajar) yang selama ini menjadi modal besar untuk menopang pilihan di jalur
wirausaha. Pelajar penting yang saya terima dari beliau adalah kepercayaan diri
adalah modal utama berwirausaha. Dan kepedulian kepada sesama merupakan tiang
penyangganya. Tanpa sedikitpun nada menggurui, apalagi menyombongkan diri, Ibu
Irma Suryati menjelaskan secara singkat betapa pemerintah belum mampu
mewujudkan amanat kemerdekaan Bangsa Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kaum cacat seperti dirinya senantiasa
dipandang sebelah mata, diperlakukan diskriminatif dan acapkali hanya
dimanfaatkan untuk kepentingan sektarian sempit.
Betapa dirinya
acapkali menerima perlakuan tidak manusiawi dari orang-orang dan lembaga
yang diberi amanat konstitusional tadi. Bagaimana mungkin keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan jika perlakuan kaum
berketerbatasan fisik (difabel) seperti dirinya lebih sering di-
“belas-kasihani” ketimbang diberi kesempatan sama selaku warga negara di negara
yang meraih kemerdekaannya dengan berjuang – berjuang dan berjuang dengan
segenap daya serta pengorbanan? Dan banyak pertanyaan serupa yang intinya
memberitahu kami bahwa meski telah berulangkali membuktikan kapabilitasnya
sebagai petarung tangguh di dunia bisnis dan sosial. Tapi selalu saja ada
manusia berwatak penjajah atau meniru watak penjajah yang ketika diberi amanat
selalu membiarkan berlalu tanpa makna. Tak ada perasaan bersalah, apalagi malu
kepada para syuhada yang menyabung nyawa untuk kemerdekaan bangsanya. Manusia
itu, sering saya sebut sebagai inlander, sebenarnya telah kehilangan
nurani meski sangat mungkin masih punya akal.
Dunia bisnis,
khususnya wirausaha sosial, sebenarnya merupakan perwujudan amanat konstitusi :
memajukan kesejahteraan umum. Dan sesuai dasar ideologi Negara Indonesia,
Pancasila, kewirausahaan sosial yang intinya merupakan kegiatan wirausaha
dengan orientasi untuk menjawab masalah sosial mendasar di lingkungannya adalah
jalan terbaik dalam mengupayakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Satu ciri utama pelaku wirausaha adalah semangat juang yang pantang menyerah.
Tak akan mundur sebelum pertempuran usai. Pertempuran itu akan berujung pada
eksistensi, jati diri. Apakah dia pejuang sejati atau sekadar coba-coba untuk
menghindari dari sebutan “pengangguran”. Kewirausahaan adalah proses
pengkondisian diri yang hanya bisa dilalui oleh orang-orang berjiwa ksatria dan
merdeka. Karena itu, pelaku wirausaha sosial tak cocok bagi para pengekor. Dia
harus seorang pemimpin dan inovator. Cara ini telah dibuktikan oleh Ibu Irma
Suryati bagi kaumnya para penyandang cacat fisik (kaum difabel), penyandang
masalah sosial dan mantan buruh migran.
Setelah berupaya
lebih dari satu dasawarsa, Kabupaten Kebumen tak lagi mampu mengimbangi
langkahnya, Bukan karena telah mencapai tujuan kesejahteraan umum sebagaimana
diamanatkan oleh konstitusi (Mukadimah UUD 1945). Menurut penuturan penyandang
SCTV Award 2012 dan 2013 ini, faktor utamanya adalah iklim yang tak lagi
kondusif. Kondisinya telah mencapai titik jenuh. Kondisi kemiskinan di
kabupaten termiskin ke 3 di Provinisi Jawa Tengah (BPS, 2010) tak banyak
berubah posisinya. Prosentase penduduk miskin dalam 5 tahun terakhir masih di
atas 20 % (2008 – 2012). Bahkan di tahun kedua kepemimpinan Bupati H. Buyar
Winarso, SE (2011) sempat mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari
22,70 % (2010) menjadi 24,06 (2011) dan turun lagi menjadi 22,40 (Juli,
2012). (bersambung)