Selingan II: Legalitas, Satu Kata Penuh Makna

Ilustrasi : Markas PMI Kab Bantul sesaat setelah Gempa 2006.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan (daring) memaparkan pengertian legal adalah sesuai dengan peraturan perundangan atau hukum (yang berlaku di negara tersebut, tentunya). Dalam konstruksi hukum nasional, kata Manuel Kaisipo dari Fraksi PDIP DPR RI saat ditemui perwakilan sukarelawan PMI se Indonesia 5 Desember 2013 di ruang rapat fraksi itu, menyatakan bahwa semua perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah RI harus segera diundangkan. Kepres No. 25 Tahun 1950 yang menjadi dasar hukum kelembagaan PMI adalah produk hukum di jaman RIS (Republik Indonesia Serikat) yang oleh sebagian kecil kelompok masyarakat (partai politik) dijadikan alat mendelegitimasi (melemahkan/ menghapus makna dengan sejumlah kata: yang berlaku saat ini). 

Yah... ini memang dilematis. Di satu sisi, keberadaan dan kemanfaatan lembaga (organisasi) PMI telah dirasakan sejak masa penjajahan Belanda. Bahkan sebagian besar petugas PMI yang kebanyakan adalah perempuan dan menjadi mahasiswi kedokteran atau pelajar sekolah menengah di masa perjuangan Bangsa Indonesia merebut dan menegakkan Proklamasi Kemerdekaan ikut serta aktif dalam berbagai laskar rakyat. Satu buktinya adalah keberadaan prasasti yang menerangkan gugurnya sejumlah sukrelawan PMI di Malang, Jawa Timur, akibat ditembak mati oleh tentara penjajahan. 

Cerita lain datang dari seorang mahasiswi kedokteran yang ditugaskan oleh Mayor Kunto, seorang komandan pasukan TRI di daerah perbatasan Karawang. Anneke, nama perempuan yang diberi tugas mengangkut tawanan perang dan peti senjata  adalah putri Bupati Cianjur yang ikut Republik. Di masa penegakan kedaulatan negara RI dari sekutu, Anneke sering berperan sebagai penghubung dengan tentara kolonial karena kemampuan berbahasa-asingnya. Dalam menjalankan tugas kemanusiaan ini, beliau harus menjaga sikap netralnya ketika ada tawanan perang yang "hanya seorang jongos, kacung atau orang suruhan di keluarga tentara kolonial" menyebut dirinya seorang "ekstrimis (sebutan kaum penjajah terhadap para pejuang kemerdekaan)". 

Penggalan kisah nyata di jaman penjajahan asing tadi nampaknya berulang di jaman merdeka ini. Sebagai bagian dari Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Gerakan), Perhimpunan Nasional Palang Merah Indonesia yang biasa disingkat PMI tengah mengalami fase penurunan kredibilitas atau berada di persimpangan jalan menuju kehancuran atau masa depan gemilang karena ketidak-jelasan proses pembahasan #RUUKepalangmerahan. Dalam berbagai tulisan di blog ini maupun yang lain, faktor penyebabnya beragam. Masalah internal organisasi yang tak lagi dikelola sesuai budaya organisasi kepalangmerahan karena pemahaman yang keliru dalam menerjemahkan Prinsip Dasar Kemandirian adalah faktor destruktif yang cukup signifikan. 

Prinsip Dasar Kemandirian menyatakan bahwa Gerakan ini bersifat mandiri. Perhimpunan Nasional di samping membantu pemerintahnya dalam bidang kemanusiaan, juga harus menaati peraturan negaranya, harus menjaga otonominya sehingga dapat bertindak sejalan dengan prinsip-prinsip gerakan ini. Membantu pemerintah dan menaati aturan yang berlaku di suatu negara adalah wujud nyata kepatuhan pada aturan nasional. Dalam kaitan dengan implementasi konstruksi hukum nasional sebagaimana diterangkan pada awal tulisan ini, perubahan status negara dari serikat kembali menjadi kesatuan dengan terbitnya Dekrit Presiden 1959, semestinya ada juga proses penyesuaian atas Kepres No. 25 Tahun 1950 tentang badan hukum PMI. 

Entah sebab apa, mungkin karena lalai atau dianggap tidak penting, dasar hukum nasional bagi organisasis PMI ini menjadi kabur dengan ditolaknya RUU Lambang dan terkatung-katungnya pembahasan #RUUKepalangmerahan. "Pembusukan" tidak hanya berasal dari faktor eksternal karena ambisi politik sektarian sejumlah pimpinan partai politik. Banyak anggota parpol yang bersangkutan di daerah yang saya temui dan ajak diskusi, justru tidak tahu sikap politik sebagian pimpinan di tingkat nasional tentang keberadaan organisasi kemanusiaan berbasis kesukarelaan dan komunitas yang di Indonesia dikenal sebagai PMI ini. Sikap politik yang tidak hanya menghianati amanat konstitusi dalam mukadimah (Pembukaan) Undang-Undang Dasar 1945 dan dasar ideologi Pancasila, terutama sila ke 2 kemanusiaan yang adil dan beradab.

Faktor internal dalam proses pembusukan organisasi PMI meski belum jelas secara kuantitatif, tapi dampaknya sangat terasa. PMI seolah jadi "lahan garapan" mengeksploitasi sumber-sumber daya untuk kepentingan lain di luar visi, misi dan tugas pokok organisasi.  Ibarat sebuah pohon besar berakar tunggang, sebagian akar serabut dan batang, cabang maupun ranting tengah mengalami proses degradasi, pelayuan atau pembusukan secara massif. Akibatnya, akar tunggang itu semakin sulit memasok sumber-sumber nutrisi sehat agar kehidupan pohon terpelihara. 

Legalitas kini seolah menjadi lagu sendu yang dilantunkan penyanyi renta. Sumbang dan memelas karena tiba-tiba pasokan nutrisi sehat bagi pohon yang juga telah banyak ditempeli benalu muncul dalam satu kesadaran kolektif. Bahwa organisasi PMI harus banyak dibenahi agar proses pembusukan tak merambah ke segala arah. Kesadaran adalah pelita dan karenanya kesaksian harus ditegakkan.  Semoga terus mengalir. Pelan tapi pasti. Bukan yang banyak itu baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.
    

This entry was posted in ,,,,,,,. Bookmark the permalink.

Leave a Reply