Menggagas Jurnalisme Bencana


Dari liputan rekan handoyo/rizqi/dhea/frida


Ahmad Arif dalam bukunya berjudul Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (2010) menuliskan berondongan pertanyaan  disampaikan seorang reporter televisi kepada seorang bapak yang putrinya terjebak reruntuhan sekolah akibat gempa di Sumatra Barat, akhir September 2009 lalu.
Selanjutnya, tiga pertanyaan ini kembali berulang kali ditanyakan oleh para reporter stasiun televisi yang bertugas di lokasi bencana. Dalam situasi ini para korban yang sedang bersedih, dipaksa berhadapan dengan berbagai pertanyaan tidak berempati. Berdasar atas hal ini, agaknya jurnalisme dalam kondisi bencana memang perlu mendapat perhatian lebih.
Memang, jurnalisme telah menjadi bagian penting dalam berbagai bencana yang terjadi di Indonesia. Sayangnya belakangan ini praktik jurnalisme bukan hanya membawa kemanfaatan bagi publik dalam menghadapi bencana alam. Beberapa informasi tidak akurat bahkan salah tetang bencana dengan mudahnya disajikan sehingga menimbulkan kepanikan korban. 

Sebagai contoh, dalam kasus erupsi Gunung Merapi, kepanikan sempat terjadi setelah warga mendapatkan informasi dari televisi tentang adanya guguran awan panas atau yang biasa disebut sebagai wedus gembel. 
Padahal apa yang dimaksud dengan awan panas dalam pemberitaan pada kenyataannya berupa hujan debu vulkanik. Menurut Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (Aspikom) yang sekaligus dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Setio Budi HH MSi, dalam situasi krisis atau bencana aspek komunikasi menjadi hal sangat penting.
Hal ini dikarenakan dalam situasi genting kondisi psikologis seseorang atau sekelompok orang cenderung mulai terganggu. Akibatnya muncul ketakutan, panik, histeria hingga kehilangan aspek rasionalitas dalam menghadapi situasi. “Sekelompok orang yang ada dalam situasi panik dan ketakutan akan memerlukan panduan komunikasi yang tepat dan bisa mengarahkan pada perilaku yang fokus untuk menyelamatkan mereka,” ujar Setio.
Selain itu komunikasi berguna sebagai wahana koordinasi antarpihak terkait serta mobilisasi massa baik untuk menghadapi bencana hingga membangkitkan solidaritas publik untuk peduli. Namun demikian menurut Setio pada praktiknya aspek komunikasi bencana masih problematik, terutama lantaran kurangnya aspek sensitivitas bencana. Aspek ini merupakan fondasi bagi pihak yang mengelola dan operator komunikasi untuk memperhatikan aspek psikologis, budaya dan sosiologis korban bencana.
Dalam konteks inilah khasanah jurnalisme bencana mendapatkan aktualisasinya. “Jurnalisme bencana tentu tidak hanya sekadar bagaimana meliput bencana, tetapi juga bagaimana pemberitaan tentang musibah tersebut dilaporkan secara proporsional dan tidak mendramatisasi,” ujar Fajar Iqbal MSi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang aktif sebagai pengurus pusat di Peace and Conflict Journalism Nerwork (Pecojon).
Fase Pemberitaan
Ia menambahkan bagian lain yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana kebijakan media dalam peliputan bencana. Sebab, pemberitaan media bukan hanya tanggung jawab reporter di lapangan. Tanggung jawab dan kepekaan menyeluruh dari media akan menghasilkan pemberitaan berkualitas. “Sebagai negara dengan potensi bencana relatif besar, pendidikan jurnalisme bencana sesungguhnya menjadi suatu keharusan. Sayangnya, hingga saat ini referensi, kajian, diskusi, penelitian serta substansi materi jurnalisme yang berkaitan dengan kebencanaan masih sangat langka,” papar dia
Terkait dengan liputan bencana, Iwan Awaludin Yusuf MSi, Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) terdapat tiga fase pemberitaan yang seharusnya diperhatikan media, yakni prabencana, saat bencana terjadi, dan pascabencana. Jika diamati dari berbagai peristiwa bencana yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, baru pada fase ketiga yang diberikan perhatian penuh.
Iwan mengatakan jika dicermati satu demi satu, fase prabencana sebenarnya berlangsung sepanjang waktu. Muatan paling penting dalam kampanye berkelanjutan ini adalah pengingatan terus menerus bahwa masyarakat Indonesia hidup di negeri rawan bencana sehingga harus selalu waspada. Media harus menjadi bagian penting dalam early warning system.
Lebih lanjut, saat terjadi bencana (tanggap darurat), media harus menyediakan informasi dasar akurat tentang jenis dan sumber bencana serta cara-cara menyelamatkan diri. Dalam fase ini, media harus menjadi aktor utama yang meminimalisasi beredarnya isu-isu meresahkan. “Pada fase pascabencana, media harus menunjukkan komitmen kuat menuju rehabilitasi. Artinya, sejak memasuki fase ini – mulai dari tahap darurat, recovery dan rehabilitasi – media harus menanamkan visi mempercepat proses pemulihan psikologis, sosial dan ekonomi masyarakat yang tertimpa bencana,” papar dia.
Iwan mengatakan persoalan jurnalisme sensitif bencana juga bukan hanya menjadi tanggung jawab reporter di lapangan. Para editor serta pemilik media hendaknya memiliki koridor jelas tentang bagaimana peliputan terkait dengan bencana yang dilakukan wartawan mereka. Sayangnya kebanyakan media cenderung terjebak dengan tuntutan pasar semata. Sehingga menjadi cenderung berlebihan dalam berbagai macam laporannya.
 “Jika reportase semacam ini yang terus berkembang, dikhawatirkan media akan memberikan dampak negatif pada kurun waktu yang lebih panjang. Media pun akan jadi musuh bagi para korban bencana,” ujar Iqbal. (handoyo/rizqi/dhea/frida)
Kiriman: Tri Sugiarto (Semarang)

This entry was posted in ,,,,,,,,. Bookmark the permalink.

Leave a Reply