Foto Status Nova Wijaya
Oleh Toto Karyanto
Jika kita bertanya kepada
kebanyakan remaja Indonesia saat ini tentang mimpinya, mungkin akan diperoleh
jawaban ingin menjadi orang kaya, terkenal dan berlimpah pujian seperti
gambaran kehidupan para selebriti idolanya. Satu hal yang masih bisa dinilai
wajar atau sebaliknya. Wajar karena mereka adalah pewarna utama kehidupan masa
depan. Tanpa mimpi atau cita-cita, ibarat berjalan tanpa bekal peta dan
rambu-rambu jalan. Melayang tak tentu arah, tabrak kiri-kanan, sruduk depan-belakang
dan membahayakan diri serta orang lain. Dengan mimpi, bangsa Amerika Serikat
ingin selalu jadi pesohor di segala bidang kehidupan.
Saat menorehkan catatan ini, ada
satu hal yang sangat menarik pada status teman relawan muda PMI yang dikenal luas pergaulannya. Foto
bertuliskan ekspresi nasionalisme ala gadis 18 tahun. Ketika ia bisa bermimpi,
belajar, beraksi, percaya, buktikan dan cinta untuk Indonesia, Nova Dewi Lintang Kusuma Wijaya seolah ingin meyakinkan diri
dan banyak orang untuk memahami keindonesiaannya. Meski
dibayangi ketidakyakinan atas originalitas ekspresi itu, keberanian
mengungkapkan di depan publik layak diapresiasi. Apalagi ada di tengah
kegamangan bahwa nasionalisme alias paham kebangsaan Indonesia kini (seolah) berada di simpang jalan antara mondialisme dan
sektarianisme.
Nova salaman sama Pak Muas
Foto bareng pasca berburu tanda tangan dukungan Ketua DPR RI
Bermimpi seperti apa atau
bagaimanakah Indonesia itu?
Tanpa harus berbuat seperti ahli nujum, peramal atau mentalist; saya berusaha
membuat gambaran kasar tentang Indonesia yang diimpikannya. Yakni satu bangsa yang warganya saling
mengenal, menyapa hangat, bergotong royong dan bekerja keras dalam mewujudkan
suasana aman, tentram, damai, bermartabat, maju, adil dan makmur. Selalu hadir
saat-saat yang penuh dinamika dan kesetaraan. Indonesia yang memberi ruang
luas untuk mengekspresikan beragam sisi kemanusiaan para warganya. Terus
bergerak maju dalam menggapai puncak-puncak prestasi lokal, nasional maupun
global tanpa perbedaan gender, status sosial dan sebagainya. Memanusiakan
manusia sesuai fitrahnya sebagai mahluk dan pemimpin dunia.
Kesadaran bahwa manusia adalah
mahluk yang paling mulia, berbekal akal untuk belajar mengenal diri dan
lingkungan sekitar. Satu proses pembelajaran sepanjang hayat di kandung badan dan
berlandaskan nurani agar saling mengasihi, tolong menolong dalam kebaikan serta
membawa manfaat seluas samudera, sedalam lautan dan buat seluruh isi alam
semesta. Sejarah untuk bercermin dan ilmu pengetahuan serta teknologi untuk
bergerak maju. Indonesia yang terus belajar dari pengalaman agar kehidupan
dapat terus berjalan
dan kesaksian ditegakkan. Indonesia yang berwarna warni tapi tetap merah putih di setiap
ujungnya. Manusia Indonesia
yang saling menerangi kehidupan dan penghidupan. Bukan hanya belajar dari dan
tentang kegelapan nurani yang banyak menghias keseharian akhir-akhir ini.
Belajar
memaknai kebangsaan Indonesia yang sesungguhnya, dalam beragam warna dan rupa
kehidupan. Mungkin juga untuk memuaskan rasa ingin tahu, mengapa Indonesia yang
begitu kaya bak jamrud di katulistiwa masih banyak penduduknya yang fakir dan
miskin harta benda, pengetahuan dan terutama mentalitasnya. Apa yang salah dan
bagaimana cara memperbaiki? Dan belajar
dari kehidupan adalah aksi, bukan sekadar teori atau omong kosong. Apalagi
provokasi. Dengan belajar terus menerus untuk beragam pengetahuan dan
pengalaman, aksi itu akan mendorong munculnya kreativitas dan inovasi. Proses pembaruan terus menerus tak kenal
lelah serta batas ruang dan waktu dengan tetap berarah pada tujuan, cita-cita
atau mimpi itu. Mimpi Indonesia (Indonesian Dream) sebagai manusia
(bangsa) yang beradab dan bermartabat. Inilah ekspresi diri dan
berharap juga menjadi ekspresi masyarakat luas.
Ekspresi
diri seorang Relawan PMI yang senantiasa berlatih (pada kehidupan) dan
memperbarui pengetahuan dan pengalaman agar memiliki kesempatan cukup untuk
mewujudkan mimpi Indonesia itu. Luasnya lapangan pengabdian diri pada
kemanusiaan universal sejatinya tidak menjadi faktor penghalang dan
mengeliminasi nilai-nilai kebangsaannya. Justru sebaliknya, merupakan kekuatan
pendorong dalam menjalankan aksi-aksinya bagi keluarga besar Indonesia. Karena
berbekal kepekaan nurani yang terasah dalam menjalankan tugas dan kewajiban
kemanusiaannya. Inilah hal mendasar bagi upaya memelihara martabat dan
peradaban manusia yang sangat mungkin tidak dimiliki para relawan politisi yang
banyak bermunculan di musim kampanye politik. Karena hakikat relawan itu bukan
profesi, tapi ladang amal yang harus dipelihara dengan ilmu dan aksi (karya
nyata) bagi masyarakat.
Dengan
pemahaman tadi, sikap terbaik untuk menyatakan kecintaan kepada tanah air dan bangsa Indonesia dilandasi kepercayaan
bahwa di sinilah kita hidup dan wajib menjunjung tinggi peradaban serta
martabat manusianya. Dengan menjadi relawan kemanusiaan pada perhimpunan
nasional kepalangmerahan Indonesia (PMI) kepercayaan itu hadir secara utuh. Berbakti
pada ibu pertiwi dibuktikan dengan karya nyata di ladang amal kemanusiaan dalam
beragam situasi. Ketika situasi aman, kita belajar dan berkarya nyata. Apalagi
dalam suasana darurat kebencanaan, baik karena faktor alam maupun perilaku
manusia yang tidak menghargai peradaban dan martabat manusia pada umumnya.
Semoga pemaparan
pada catatan saya ini tidak keliru tafsir dalam memaknai kecintaan kita kepada
tanah air dan bangsa Indonesia seperti dinyatakan Nova dalam status
facebook-nya di atas. Ekpresi yang sarat pesan moral dan bahan pembelajaran. Jika
ini adalah hasil perenungan sepanjang Ramadhan kemarin, berbahagialah dirinya
mampu menggapai makna fitri .
Dirgahayu Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan
Palang Merah Indonesia ke 68.
Tulisan ini dimuat juga dalam Catatan Pribadi.