Siasana Markas PMI Kab, Bantul saat Operasi Tanggap Darurat Gempa DIY 27 Mei 2005 |
Ada
korelasi positif antara gerakan Relawan PMI di masa perang kemerdekaan dan saat
ini. Pertama, relawan PMI adalah kaum terpelajar yang memiliki jiwa kemanusiaan
dan nasionalisme sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dari keberadaan relawan PMI
dalam barisan pemuda/pemudi di jaman penjajahan Belanda maupun Jepang. Demikian
pula ketika proklamasi dan masa-masa genting di awal usianya, Bangsa Indonesia
harus bertahan hidup dari upaya penjajahan kembali oleh bangsa atau persekutuan
bangsa asing. Relawan PMI bergabung dengan laskar-laskar perjuangan yang
kemudian melebur jadi sebuah kekuatan besar dalam wadah Tentara Nasional
Indonesia. Kedua, di masa damai, Relawan PMI adalah kekuatan utama dan roh
organisasi. Bukan sekadar agen perubahan yang kemudian “tenggelam” dalam
situasi status quo.
Di
masa merebut dan menegakkan kemerdekaan tersebut, relawan yang lebih sering
disebut sebagai anggota atau petugas PMI banyak dilakukan oleh kaum perempuan
karena para lelaki menjadi kombatan (anggota pasukan tempur). Meski demikian,
ada juga diantara anggota/petugas PMI di masa itu berperan ganda secara
terbatas dalam tugas kemiliteran sebagai mata-mata, menggeledah penumpang
kendaraan umum khususnya kereta api dan mengumpulkan senjata beserta pelurunya
bagi laskar perjuangan yang diikutinya. Pada kesatuan Tentara Pelajar yang
semua anggotanya dari para pelajar sekolah menengah seringkat SMP/SMA, petugas
PMI masuk dalam jajaran Staf Khusus baik yang putri maupun putra. Satu
diantaranya adalah Kunto Wibisono yang saat itu menempati markas kota
Purworejo. Kelak, beliau dikenal sebagai dosen filsafat do Universitas
Gadjahmada Yogyakarta dan Rektor Universitas 11 Maret Surakarta (UNS).
Pergerakan
Relawan PMI di era reformasi yang menjadikan kekuatan politik (partai politik)
jadi “panglima” mulai terasa gaungnya setelah sejumlah relawan menyebut diri
sebagai RPI (Relawan Palangmerah Indonesia). Mereka sebenarnya adalah relawan
yang sangat berdedikasi bagi organisasi PMI. Senantiasa menjaga sikap mandiri
dan netral sesuai prinsip dasar Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah yang diadopsi sebagai core
value PMI. Karena keteguhan sikap itu, sebagian Pengurus Pusat yang
kemudian merembet ke daerah menganggapnya sebagai rombongan liar (romli). Meski demikian, justru
merekalah yang ketika terjadi bencana besar semacam tsunami Aceh datang dan
bertugas sebagai relawan kemanusiaan atas nama PMI lebih dulu ketimbang petugas
resmi yang dikirim oleh daerah-daerah di bawah kordinasi Pengurus Pusat. Tiga
orang diantaranya adalah inisiator atau pegiat keberadaan payung hukum bagi PMI
sebagai perhimpunan nasional yang menerima mandat dari pemerintah Republik
Indonesia serta Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
Mereka adalah Kristobal (DKI Jakarta) dan Titus serta terakhir Sapta (DIY) telah
mendului kembali ke pangkuan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dedikasi dan militansi Relawan PMI untuk #RUUKepalangmerahan tak pernah
hilang meski dihalangi dengan beragam cara. Apalagi sejak Tragedi Trisakti
13-14 Mei 1998 yang menawaskan Elang
Surya Lesmana dan
kasusnya dipetieskan dalam bingkai “kasus politik” oleh para pejabat politik
yang menguasai Negara di lembaga-lembaga formal baik pemerintah dan terutama di
DPR RI. Kematian tragis Elang adalah tumbal atau korban sia-sia bagi Gerakan
Reformasi yang hasilnya lebih banyak dinikmati oleh para petinggi di kedua lembaga
formal tadi.
Kasus Elang menginspirasi munculnya RUU Lambang yang digagas oleh
Pemerintah dari hasil kajian Pusat Studi Ilmu Hukum Universitas Trisakti
Jakarta. Universitas tempat kejadian perkara tertembak matinya seorang Relawan
PMI yang tengah bertugas sebagai relawan dan mengenakan atribut PMI. Kasus
hukum yang dipolisisasi untuk kepentingan kekuasaan. Karena, kasus ini dapat
menjadi insiden internasional jika terus diperkarakan lewat jalur hukum pidana
sebagai pelanggaran HAM berat. Proses pembahasan RUU Lambang yang menghabiskan
waktu secara sia-sia selama 12 tahun berakhir kebuntuan (dead lock) karena
arogansi dan kepongahan orang-orang yang menikmati keuntungan dari para korban
sia-sia seperti Elang.
Dalam situasi yang berbeda, #RUUKepalangmerahan yang digagas oleh DPR RI
hampir mengalami “nasib” serupa dengan RUU Lambang jika Relawan PMI tidak
melakukan gerakan terancana yang salah satu puncaknya adalah Aksi Relawan PMI se Indonesia di
Gedung DPR RI pada Selasa, 3 Desember 2013. Sebenarnya, aksi ini bukan
spontanitas sebagaimana sering dipahami oleh banyak Relawan PMI. Karena, begitu
mendapat informasi bahwa RUU Lambang mengalami jalan buntu, “gerakan
perlawanan” mulai digalang dengan aksi pengumpulan tanda tangan dukungan dari
berbagai daerah seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Diawali
di Kabupaten Bogor, aksi ini terus bergulir ke berbagai wilayah. Jawa Tengah dicatat sebagai provinsi yang paling
pasif meski salah satu motor penggeraknya berasal dari provinsi yang di jaman Orde
Baru dianggap sebagai “barometer politik nasional”.
Aksi 3 Desember 2013 adalah sebuah puncak kegeraman Relawan PMI terhadap
perilaku sektarian dan sok kuasa dari para politisi di DPR RI yang ada di
Panitia Khusus #RUUKepalangmerahan. Hal ini dengan sangat mudah dapat ditangkap
dari berbagai sikap dan pernyataan mereka ketika beraudiensi dengan perwakilan
Relawan PMI yang dikordinasi dari Relawan PMI Markas Kota Jakarta Selatan, Andi
Gumilar dan Alvis Syamsi dari Jakarta Pusat. Keduanya adalah Relawan PMI yang
sangat berdedikasi bagi organisasinya. Militansi keduanya menguat ketika
bergabung di RPI dan dipelihara sampai sekarang. Bahkan, Andi Gumilar mampu
mengkondisikan Markas Kota Jakarta Selatan sebagai pusat komando gerakan.
Apalagi dengan dukungan penuh dari Pengurus inti, Ketua (Bapak Dadang Masduki)
dan Sekretaris (Bang Moch. Adnan) yang dengan jelas dan tegas berani mengambil
risiko apapun.